Senin, 26 November 2012

Bencinya Majalah Tempo pada Syariat Islam

Bencinya Majalah Tempo pada Syariat Islam
Oleh: Ustadz Hartono Ahmad Jaiz
  • Majalah Tempo menulis: :“Indonesia tampaknya bukan tempat yang tepat untuk menegakkan hukum yang berlatar belakang syariah.”
  • Kebijakan Tempo anti Perda Syariah dan Undang-Undang yang Islami ini sebenarnya sudah lama dan nampak terang benderang pada Tempo edisi 4 September 2011, dengan menampilkan judul liputan khusus: Perda Syariah Untuk Apa.
  •  Kebijakan redaksinya nampak dalam kolom opininya yang menyatakan :“Indonesia tampaknya bukan tempat yang tepat untuk menegakkan hukum yang berlatar belakang syariah.”
Ketidakrelaan Tempo itu tampaknya sejenis pula dengan ketidak relaan orang-orang yang disifati Allah Ta’ala ini:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (١٢٠)

120. Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. (QS Al-Baqarah: 120).
Bila ketidak relaan itu bermuatan memusuhi Islam, maka jalurnya pun telah ditegaskan Allah Ta’ala:

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا

 82. Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (QS Al-Maaidah/ 5: 82).
Bila tulisan itu dimaksudkan untuk menghujat syariat Islam, maka Allah telah menyifati:

 وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُورٍ (٣٢)

32. Dan tidak ada yang mengingkari ayat- ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar. (QS Luqman/31: 32)

 وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الْكَافِرُونَ (٤٧)

Dan Tiadalah yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir. (QS Al-‘ankabut/ 29: 47).
Bila tulisan itu dimaksudkan merupakan kritik tajam bahwa syariat Islam diterapkan itu mencelakai, maka Allah Ta’ala telah berfirman:

مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى (٢) إِلا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى (٣)تَنْزِيلا مِمَّنْ خَلَقَ الأرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ الْعُلا (٤)

2. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah;
3. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah),
4. Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (QS Thaha: 2-4).
Bila tulisan Tempo itu dimaksudkan bahwa syariat Islam itu tidak layak diterapkan dan seharusnya diganti yang lain, maka ancaman Allah ta’ala pun tegas:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (١١٥)

115. Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS An-Nisaa’/ 4: 115).
[348] Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
Bila maksudnya untuk menyakitu Ummat islam, maka Allah ta’ala telah mengingatkan dengan member khabar:

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ (١٨٦)

186. Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (QS Ali Imran: 186).
Cukuplah jelaslah firman Allah Ta’ala itu bagi orang yang masih menggunakan pikirannya.
  • Majalah Tempo dalam pemberitaannya pernah membela Dr Nasr Hamid Abu Zaid yang belakangan divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir karena menganggap Al-Qur’an adalah muntaj tsaqafi (produk budaya).
Inilah ulasan singkatnya.
Shahin dan vonis murtad atas Nashr Hamid Abu Zayd
Upaya Shahin untuk menegaskan murtadnya Nashr Hamid Abu Zayd hingga benar-benar Nashr yang menganggap al-Qur’an adalah munatj tsaqafi (produk budaya) divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996 telah menjadi kenyataan sejarah. Nashr Hamid Abu Zayd kemudian justru lari ke Belanda dan diangkat sebagai guru besar Ulumul Qur’an (di antara muridnya ada yang dosen IAIN kini UIN Jogjakarta).
Abdus Shabur Shahin kini telah wafat pada hari Ahad (26/9 2010). Sedang Nashr Hamid Abu zayd pun telah mati, Senin pagi (5/ Juli 2010) di Cairo akibat terkena virus aneh, setelah pulang dari Indonesia karena ditolak kehadirannya di Indonesia oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) Riau, dan Jawa Timur.
Untuk melihat seberapa pergulatan awal dan formal antara Abdus Shabur Shahin dan tokoh sesat Nashr Hamid Abu zaid, berikut kami kutipkan tulisan Ustadz Hartono Ahmad Jaiz tahun 1993 sebagai berikut:
Ulama Mesir Tegar Menghadapi Kelompok Intelektual Sekular
Tegarnya  ulama Mesir dalam menghadapi aneka usaha  kelompok intelektual  sekular  pantas  ditiru. Kasus  terakhir,  gagalnya ilmuwan  sekular  Dr  Nashr Hamid  Abu  Zaid  untuk  meningkatkan statusnya  menjadi  profesor di Universitas Cairo  adalah  bukti ketegaran ulama Mesir dalam menghadapi sekularisasi.
Daud Rasyid MA, alumni Fakultas Darul Ulum jurusan  Syari’ah Universitas Cairo,   mengemukakan   kasus   ramainya    masalah sekularisasi di Mesir itu kepada penulis, 18/8 1993.
Yang  jadi pertanyaan, lanjut Daud Rasyid, kenapa  hangatnya pempopuleran sekularisasi itu waktunya bersamaan antara di  Mesir dan Indonesia. Sifatnya pun sama, sekularisasi itu didukung  oleh media  massa  tertentu. Dan tokohnya saling kenal.  Bahkan  tokoh sekular Mesir, Hassan Hanafi, disebut-sebut oleh tokoh  Indonesia seperti Nurcholis Madjid sering saling berjumpa dalam seminar  di
Eropa,  ungkap Daud. Penggerak sekularisasi itu adalah  pengikut-pengikut  Thaha Husein dan Ali Abdul Raziq yang  dikucilkan  oleh para ulama Mesir namun di Indonesia disanjung.
Pertanyaan  kedua, lanjutnya,  kenapa  lontaran  sekularisasi  itu  justru   sengaja dilontarkan saat muslimin di berbagai tempat sedang dibantai oleh non  Muslim seperti di Bosnia, Palestina, Somalia,  Kashmir,  dan Myanmar.
Kasus  terakhir  tersebut  (gagalnya Dr  Abu  Zaid,  asisten profesor pada jurusan Bahasa Arab, dalam meraih profesor), lanjut Daud  Rasyid, justru diputar balikkan faktanya di Indonesia  oleh majalah  berita di Jakarta pekan lalu, dengan  menyebut pemimpin pengujinya orang fundamentalis.
Kemudian  3 orang dari anggota itu ditugasi untuk meneliti  karya ilmiyah  anggota  badan  pengajar  yang  mengajukan  diri   untuk meningkatkan status.
Karya  “ilmiyah”  Dr  Nashr Hamid Abu Zaid  ini  bukan  saja tertolak  dari  segi ilmiyah, tetapi justru  dari  faktor  aqidah pula. Panitia Ilmiyah Tetap Peningkatan Status di Universitas itu memutuskan  gagalnya  Dr  Nashr Abu  Zaid  dalam  meraih  profesor setelah  3 anggotanya memeriksa karya ilmiyah Nashr. 3  pemeriksa itu:  Dr  Abdus Shobur Shahin profesor pada Fakultas  Darul  Ulum tempat  Daud  Rasyid  belajar, Dr  Mahmud  Makki  profesor  pada Fakultas  Adab,  dan Dr Auni Abdur Rauf profesor  pada  Fakultas Bahasa-bahasa  (Alsun).  Laporan  pemeriksa  pertama   menyatakan negatif, sementara laporan dua lainnya menganggap laik Dr  Nashr. Lantas  panitia mengesahkan laporan Dr Abdus Shobur  Shahin  yang menemukan   hal-hal  negatif  dalam  karya  Abu  Zaid  itu,   dan ditandatangani  oleh  profesor-profesor  anggota  lajnah:  Syauqi Dhoif,  Ahmad  Haikal,  Ramadhan Abut  Tawwab,  Nabilah  Ibrahim, Mahmud  Hijari, Abdus Salam Abdul Aziz, Auni Abdur  Rauf,  Mahmud Dzahni, Abdus Shobur Shahin; dan tak mau bertandatangan Dr  Sayid Hamid  Siyag.  Kemudian  Dewan  Universitas  (Majlis  Al-Jami’ah) sepakat atas  laporan  Dr  Abdus  Shobur  Shahin  dan   menolak peningkatan status Dr Nashr Hamid Abu Zaid.
Merendahkan Al-Quran
Dr  Abu  Zaid  itu, menurut  laporan  Majalah  Palestin  Al-Muslimah Juli 1993, berpendapat bahwa al-Quran itu legende  dan hasil  budaya manusia, sedang Syafi’i adalah  mulfiq  muta’asshibpencampur  aduk  madzhab  yang fanatis,  serta  sahabat bukanlah orang-orang pilihan.
Dr  Abdus Shobur dalam laporannya menyebutkan, karya Dr  Abu Zaid  itu  sangat  merendahkan Al-Quran  dan  Sunnah  Rasul  shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghina sahabat dan Imam Syafi’i rahimahullah, dan mengemukakan kesalahan- kesalahan  besar tentang dzat Ketuhanan, serta pemikiran  sekular dan   marxisme  berdasarkan  teori  meterialisme  yang   tertolak kebenarannya.
Majalah  itu  melaporkan,  keputusan  gagalnya  dosen  untuk meraih  profesor seperti itu sudah biasa. Namun, dalam kasus  Abu Zaid  yang  sekular itu, begitu Universitas  memutuskan  gagalnya sang  tokoh, serentak sontak penulis-penulis sekular  dan  marxis ramai-ramai mengecam Dr Abdus Shobur Abu Shahin sebagai ekstrimis dan  teroris  pemikiran. sedang Universitasnya  dianggap  sebagaipembantai  kebebasan  mimbar ilmiyah dan  pembersihan  pemikiran. Kecaman-kecaman itu kemudian ditujukan kepada aliran Islam.
Kecaman  dari golongan kiri dan sekular itulah  yang  disampaikan pula  di  Indonesia  oleh sebuah majalah  mingguan (maksudnya Majalah Tempo, red NM),  ungkap  Daud Rasyid.  “Padahal  seharusnya justru ketegasan para  ulama  Mesir dalam  menolak usaha sekularisasi itulah yang perlu dihargai  dan ditiru oleh ulama Indonesia,” keluh Daud Rasyid yang saat itu sedang menyiapkan buku ”Pembaruan” Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, menanggapi pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta, Rabu 18/8 1993M, 30 Shafar 1414H
(Dikutip dari buku Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994).
  • Majalah Tempo dalam berita-beritanya juga bersemangat dalam membela Salman Rushdie penulis novel Ayat-ayat Setan yang isinya menghina Islam, diterbitkan tahun 1988. Ummat Islam sedunia mengutuk Salman Rushdie namun Majalah Tempo justru membelanya. Hingga terjadi polemic dengan Majalah Panji Masyarakat warisan Buya Hamka, ketua umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang pertama (sejak berdirinya MUI 1975). Rupanya saking geramnya terhadap Tempo, maka Majalah Panji Masyarakat menulis dengan judul Goenter Mahoun. Apakah yang dimaksud Goenter Mahon itu suatu tohokan terhadap Goenawan Mohamad pemimpin Tempo atau makna sebenarnya apa, orang yang paling tahu tentang itu adalah Ridwan Saidi. Penulis di Panji Masyarakat dengan judul Goenter Mahoun itu bernama kun-yah Abu Jihan, pengisi tetap di majalah Islam tengah bulanan itu. Apa arti Mahoun, ini ada keterangan: Mahoun, nama merendahkan untuk Muhammad, ditransfer di Skotlandia dengan iblis, yang disebut Old Mahoun. Definisi diambil dari The Encyclopædia Nuttall, diedit oleh Pendeta James Wood (1907). (Mahoun, a contemptuous name for Mahomet, transferred in Scotland to the devil, who was called Old Mahoun.Definition taken from The Nuttall Encyclopædia, edited by the Reverend James Wood (1907). Sampai kini Majalah Tempo tampaknya begitu-begitu juga.
    (voa-islam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar