UMAT
Islam Indonesia pantas bersyukur. Setelah sebelumnya Moh. Natsir
diresmikan sebagai Pahlawan Nasional RI pada tanggal 10 November 2008,
maka kini Buya Hamka, Mr. Syafruddin Prawiranegara dan KH. Idham Chalid
mendapatkan pengakuan yang sama terhitung sejak 8 November 2011.
Fakta bahwa Pemerintah RI membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
mengakui kepahlawanan Moh. Natsir (15 tahun sesudah wafatnya), Hamka (30
tahun) dan Syafruddin Prawiranegara (22 tahun) adalah suatu fenomena
yang perlu mendapat perhatian dan menjadi bahan diskusi demi
kelangsungan bangsa ini. Pada kenyataannya, ketiga tokoh ini telah
menjadi pahlawan di mata umat Islam jauh sebelum pemerintah mengakuinya.
Moh. Natsir adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah bangsa
Indonesia. Beliau ikut mendirikan dan membesarkan partai politik Masyumi
yang pada jamannya menjadi tempat penyaluran aspirasi politik umat
Islam Indonesia. Natsir pernah mendapat amanah sebagai Menteri
Penerangan dan menjadi anggota parlemen sebagai wakil rakyat dari
Masyumi. Pada tahun 1950, Natsir mengajukan mosi integral yang kemudian
diterima secara aklamasi, sehingga bentuk negara perserikatan
ditinggalkan untuk kemudian kembali pada format Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Natsir juga sempat menjadi orang kepercayaan Presiden
Soekarno sehingga ia diangkat menjadi Perdana Menteri. Dalam pergaulan
internasional, Natsir dikenal luas karena pernah menjabat sebagai
Presiden Liga Muslim Sedunia (World Moslem Congress) dan
anggota Dewan Eksekutif Rabithah ‘Alam Islamiy. Setelah karir politiknya
berakhir, Natsir membaktikan hidupnya dalam dakwah, terutama melalui
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Abdul Malik Karim Amrullah, atau biasa dikenal dengan nama Buya
Hamka, adalah ulama-sastrawan yang memiliki karisma tersendiri. Jika di
dunia sastra beliau dikenal karena karya-karyanya seperti Di Bawah
Lindungan Ka’bah, maka namanya pun tercatat dalam tinta emas sejarah
Islam di Indonesia karena karya-karyanya yang sangat banyak seperti
Tasauf Modern, Pelajaran Agama Islam, dan tentu saja Tafsir Al Azhar
yang merupakan magnum opus-nya. Meski Hamka sebenarnya tidak terlalu
tertarik dengan politik, kontribusinya juga tidak bisa diabaikan begitu
saja, karena beliau pernah terpilih menjadi wakil rakyat dari Masyumi,
bahkan juga menjadi Juru Kampanye Utama dari partai tersebut. Dunia
internasional mengenalnya sebagai seorang akademisi, terutama setelah
beliau menerima gelar Doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar,
Mesir. Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto memintanya untuk memimpin
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sepeninggal Buya Hamka, karya-karya
beliau masih terus diperbincangkan di Indonesia dan di negeri-negeri
jiran seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Di antara kedua rekannya di atas, Syafruddin Prawiranegara memiliki
‘keunikan’ tersendiri. Boleh dibilang karir politiknya ‘lebih tinggi’
daripada Natsir, karena Syafruddin pernah menjadi Wakil Perdana Menteri,
Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Gubernur Bank Sentral Indonesia,
bahkan juga sebagai Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI).
Keberadaan pemerintahan darurat pada saat itu memang sangat
dibutuhkan karena Yogyakarya (pusat pemerintah RI pada masa itu) telah
jatuh ke tangan Belanda dalam peristiwa Agresi Militer II pada tahun
1948. Setelah keadaan aman kembali, Syafruddin membuktikan sifat
amanahnya dengan mengembalikan mandat kepresidenan kepada Soekarno;
sebuah sikap yang sulit dicari pembandingnya di masa kini. Sebagaimana
Natsir dan Hamka, Syafruddin berkonsentrasi di lapangan dakwah pada
akhir hayatnya.
Baik Natsir, Hamka dan Syafruddin Prawiranegara sama-sama menemukan
‘batu sandungan’ dalam sejarah nasional Indonesia. Natsir dan Syafruddin
dikenal sebagai tokoh-tokoh kunci dalam Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI). Orde Lama secara paksa membubarkan Masyumi,
membawa serta nama Natsir dan Hamka dalam diskriminasi yang
berkelanjutan hingga masa Orde Baru. Hamka sendiri pernah ditahan karena
tuduhan subversif oleh pemerintah Orde Lama dan mundur dari jabatan
Ketua MUI karena tekanan yang hebat akibat fatwa haramnya perayaan Natal
bersama.
Terpeliharanya nama besar ketiga tokoh tersebut meski diskriminasi
sejarah terus dilakukan adalah bukti bahwa catatan sejarah tidak selalu
sejalan dengan pandangan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Dengan kata lain, ada hegemoni kekuatan ideologis yang memaksakan versi
sejarah tertentu kepada masyarakat.
PRRI, misalnya, tidak selalu dianggap sebagai gerakan pemberontakan,
meski buku-buku pelajaran sejarah menyatakan demikian. Di tengah-tengah
masyarakat Sumatera yang hidup pada jaman itu, meskipun tidak semuanya
mendukung PRRI, namun cukup banyak yang tidak sepakat dengan pendapat
pemerintah yang menganggapnya sebagai gerakan pemberontak. Sebaliknya,
langkah-langkah penumpasan PRRI justru telah menimbulkan trauma yang
cukup mendalam bagi sebagian masyarakat yang sebenarnya tidak banyak
tahu tentang konstelasi politik nasional. Di samping itu, kini semakin
banyak analis yang sepakat bahwa PRRI adalah gerakan koreksi terhadap
pemerintah pusat yang telah membiarkan terjadinya ketimpangan sosial dan
banyak dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dekatnya PKI dengan kekuasaan juga mengakibatkan jatuhnya banyak
korban politik dari kalangan umat Islam, terutama lawan-lawan politiknya
seperti Masyumi. Sebagai akibatnya, Masyumi dibubarkan secara paksa dan
para pimpinannya tidak boleh lagi terjun ke ranah politik. Orde Baru
banyak meralat keputusan-keputusan Orde Lama, termasuk membebaskan
tahanan-tahanan politik yang tidak pernah melewati proses peradilan
seperti Hamka, namun Masyumi tetap tidak dibiarkan hidup kembali, dan
diskriminasi politik terhadap umat Islam pun berlanjut.
Buya Hamka, yang telah dua kali menjadi korban politik rejim yang
berkuasa, adalah contoh kasus yang cukup menarik untuk menunjukkan
bagaimana diskriminasi politik bekerja dalam waktu yang sangat panjang.
Beliau tidak pernah mundur dari sikap penentangannya terhadap komunisme
dan sekularisme. Sikapnya terhadap PKI sangat tegas, dan beliau tak
pernah ragu untuk mengkritik Presiden Soekarno sekalipun. Dua tahun
lamanya beliau mendekam di penjara tanpa proses peradilan akibat tuduhan
ikut serta dalam rapat gelap merencanakan pembunuhan Soekarno. Hamka
baru keluar dari penjara setelah Orde Lama jatuh. Orde Baru, meskipun
pada awalnya terlihat berusaha ‘mengulurkan tangan’ kepada beliau dengan
mengangkatnya sebagai Ketua MUI yang pertama, pada akhirnya harus
berpisah jalan pula karena perbedaan pendirian yang sangat tajam. Pada
masa itu, toleransi antarumat beragama dimaknai dengan perayaan hari
besar agama bersama, dan pemaknaan toleransi yang semacam inilah yang
dipaksakan kepada masyarakat. MUI langsung merespon tegas dengan
mengeluarkan fatwa haramnya perayaan Natal bersama, dan konflik berakhir
dengan mundurnya Hamka dari jabatan Ketua MUI.
Jauh setelah berlalunya masa PRRI, Masyumi dan fatwa haramnya
perayaan Natal bersama, sejarah terus mengesampingkan para ulama besar
yang pernah berseberangan dengan penguasa sekuler negeri ini. Bagaimana
negarawan berkelas internasional seperti Moh. Natsir, mantan Presiden
seperti Syafruddin Prawiranegara, dan ulama besar selevel Buya Hamka
bisa luput diceritakan dalam lembaran-lembaran buku pelajaran Sejarah?
Apa yang dialami oleh para ulama adalah cerminan dari kondisi
umatnya. Hegemoni tafsir sekuler terhadap sejarah Indonesia telah
membawa penderitaan berkepanjangan bagi umat Islam di negeri ini.
Puluhan tahun lamanya umat Muslim tidak mendapatkan pengakuan yang wajar
atas kontribusinya untuk Indonesia.
Hingga kini, masih saja ditemukan dikotomi antara golongan ‘Islamis’
dan ‘nasionalis’, seolah-olah yang Islamis tak bisa nasionalis. Kita
masih menemukan begitu banyak peraturan yang justru menginjak-injak hak
umat Muslim untuk menjalankan ajaran agamanya dengan baik. Di beberapa
tempat, kita masih temukan larangan mengenakan jilbab. Setiap kali kata
“syariat” disebut dalam proses pembentukan peraturan daerah (meskipun
sebenarnya kata tersebut tidak dicantumkan), muncul kesan bahwa kaum
‘Islamis’ akan melakukan diskriminasi terhadap umat beragama lainnya.
Semua kesan negatif terhadap Islam yang seolah muncul secara otomatis
(taken for granted) ini adalah bukti adanya hegemoni tafsir sekuler
terhadap sejarah nasional bangsa ini. Para penulis sejarah memaksakan
pemikiran-pemikiran sekuler yang menekan masyarakat untuk meninggalkan
agamanya masing-masing, menempatkannya di sudut peradaban dan
menjadikannya tidak relevan dalam kehidupan sehari-hari. Seolah-olah
umat Islam yang Islamis tidak pernah berjuang dan bekerja untuk
Indonesia, padahal darah umat Muslim-lah yang paling banyak menggenangi
tanah Indonesia pada jaman revolusi fisik dahulu. Para ulama dikesankan
sebagai kekuatan politik tersendiri yang masing-masing bergerak demi
kepentingan pribadi atau hanya demi umat Muslim (dengan mengabaikan umat
lain), padahal merekalah yang dahulu mengobarkan semangat jihad untuk
membebaskan negeri ini dari cengkeraman penjajah. Demikian juga tuntutan
umat Muslim untuk mendapatkan kebebasan menjalankan syariat Islam
senantiasa dianggap sebagai usaha untuk menindas umat-umat beragama
lainnya, padahal kebebasan menjalankan agama masing-masing, termasuk
kepada umat non-Muslim, adalah bagian yang sangat fundamental dari
syariat Islam yang sebenarnya.
Para ulama-negarawan seperti Natsir, Hamka dan Syafruddin
Prawiranegara telah sejak lama menekankan hal ini. Akan tetapi, doktrin
sekularisme – yang sesungguhnya tidak mengakar dalam jiwa bangsa
Indonesia – tetap dipertahankan oleh para penguasa dari masa ke masa,
sehingga tafsir sejarah pun senantiasa menggunakan pandangan hidup (worldview) sekuler.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Moh. Natsir, Hamka, KH.
Idham Chalid dan Syafruddin Prawiranegara adalah suatu awal yang bagus
untuk memulai dialog dengan seluruh elemen bangsa, terutama sekali umat
Muslim. Sudah bukan waktunya lagi kita mempertentangkan antara yang
Islamis dan nasionalis. Ini adalah waktu yang tepat untuk meninjau dan
menulis ulang sejarah dengan semangat kebersamaan dan kejujuran, bukan
dengan semangat sekularisme yang senantiasa memusuhi agama dan kaum
agamawan.*
Penulis peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar