SETIAP
orang tentu saja mempunyai kecenderungan yang berbeda. Termasuk juga
soal kebutuhan biologis. Ada yang merasa cukup dengan ritme sederhana.
Namun ada juga yang agak berlebihan. Semuanya tidak masalah asalkan
sesuai dengan batasan syariat Islam.
Satu pertanyaan yang banyak masuk ke meja redaksi adalah bagaimana
cara mencari solusi ketika pasangan suami istri sah dalam Islam
berjauhan. Mungkin karena sedang bekerja, ataupun karena studi. Jarak
yang memisahkan bukan hanya dalam hitungan hari atau pekan, tapi mungkin
sudah dalam hitungan bulan dan tahun. Untuk perempuan, sepertinya hal
ini tidak begitu bermasalah. Namun untuk seorang suami, ini menjadi
persoalan besar.
Seperti kita ketahui, di luar sekarang ini, begitu “banyak
pemandangan” yang mau tidak mau membuat kita harus banyak beristighfar.
Perempuan-perempuan yang tidak lagi menutup auratnya, berlenggangan
dimana-mana, sehingga menjadikan para laki-laki tergugah birahinya.
Pertanyaannya, bolehkah kemudian seorang suami melakukan seks
“mandiri” ketika berjauhan dengan istri dalam waktu yang sangat lama?
Onani atau dalam bahasa Arabnya disebut istimna, banyak dibahas oleh
para ulama. Sebagian besar ulama mengharamkannya namun ada juga yang
membolehkannya.
Yang mengharamkan onani, umumnya para ulama, berpegang kepada firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap
isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela.
Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah
orang-orang yang melewati batas,” (Al-Muminun: 5-7).
Mereka menggolongkan onani sebagai perbuatan tidak menjaga kemaluan. Dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah:
Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami, “Wahai para pemuda,
apabila siapa di antara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka
menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi
yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung,”
(HR Muttafaqun alaih).
Di dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam,
Ash-Shanani menjelaskan bahwa dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah
mengharamkan onani dengan alasan bila onani dihalalkan, seharusnya
Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan onani saja karena lebih
sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah menyuruh untuk puasa. Sedangkan
Imam Asy-Syafi’i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro
jilid 7 halaman 199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran
surat Al-Mukminun “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.” Begitu
juga dalam kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Onani.
Imam Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau
mengatakan bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya
dihukum tazir, tetapi tidak seperti zina. Namun beliau juga mengatakan
bahwa onani dibolehkan oleh sebagian shahabat dan tabiin karena hal-hal
darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit
tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu Taymiyah) tidak
melihat adanya keringanan untuk memboleh onani.
Ulama yang membolehkan istimna antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan
Hanafiyah dan sebagian Hanabilah. Ibnu Abbas mengatakan onani lebih baik
daripada zina tetapi lebih baik lagi bila menikahi wanita meskipun
budak.
Ada seorang pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas,”Wahai Ibnu Abbas, saya
seorang pemuda dan melihat wanita cantik. Aku mengurut-urut kemaluanku
hingga keluar mani”. Ibnu Abbas berkata,”Itu lebih baik daripada zina,
tetapi menikahi budak lebih baik daripada itu (onani).”
Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla
juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa
istimna adalah mubah karena hakikatnya hanya seseorang memegang
kemaluannya maka keluarlah maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya
secara langsung tidak ada. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan telah
Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan.” Sedangkan onani bukan termasuk
hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal.
Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari
Al-Quran maupun Sunnah. Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam
Abu Hanifah) dan sebagian Hanabilah (pengikut mazhab Imam
Ahmad)—sebagaimana tertera dalam Subulus Salam juz 3 halaman
109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105—membolehkan
onani dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda yang belum mampu
menikah untuk puasa sebagai dasar diharamkannya onani.
Berbeda dengan ulama Syafi’iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa
onani itu dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh
karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih. Namun
sebagai cataan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian
mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Bila kita periksa
kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu diharamkan.
Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:
1. Karena takut berbuat zina.
2. Karena tidak mampu kawin.
Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan
gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram.
Misalnya seorang lelaki yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain
yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu
kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa
menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah
tersebut dan supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak
menjadi ulat.
Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang
diterangkan oleh Rasulullah saw terhadap pemuda yang tidak mampu kawin,
yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat
mendidik beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk
bertaqwa dan keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada
setiap jiwa seorang mu’min. Untuk itu Rasuluilah saw bersabda sebagai
berikut: ”Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada
kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan
memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia
berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung,” (Riwayat
Bukhari). Wallahu a’lam
islampos.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar