DARI balik lemari yang menjadi sekat ruang tamu, Sitti Muchliesah
bersama empat adik dan sepupunya mencuri dengar pembicaraan ayahnya,
Mohammad Natsir, dengan seorang tamu dari Medan. Hati remaja-remaja itu
berbunga ketika mendengar si tamu hendak menyumbangkan mobil buat ayah
mereka.
Lies panggilan Siti menyangka mobil Chevrolet Impala yang sudah
terparkir di depan rumahnya di Jalan Jawa 28 (kini Jalan H.O.S.
Cokroaminoto), Jakar-ta Pusat, itu akan menjadi milik keluarganya. Sedan
besar- buatan Amerika ini tergolong “wah” pada 1956. Saat itu Natsir,
yang pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri, hanya punya
mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam.
Aba-demikian anak-anaknya memanggil Natsir-ketika itu masih anggota
parlemen dan memimpin Fraksi Masyumi. “Dia ingin membantu Aba karena
mobil yang ada kurang memadai,” kata putri tertua Natsir yang saat itu
baru masuk usia 20 tahun.
Harapan anak-anak naik mobil Impala buyar saat ayah mereka menolak
tawaran dengan amat halus agar tidak menyinggung perasaan tamunya.
“Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” Lies
menirukan ucapan ayahnya ketika mereka bertanya.
Nasihat itu begitu membekas di hati Lies, kini 72 tahun. Aba dan Ummi
Nurnahar-ibunda Lies-selalu berpesan kepada anak-anaknya, “Cukupkan
yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.”
Ketika sang ayah menjadi Menteri Penerangan pada awal 1946, Lies
mengenang mereka tinggal seadanya di rumah milik sahabat Natsir, Prawoto
Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sewaktu
pusat pemerintah pindah ke Yogyakarta, keluarga Natsir menumpang di
paviliun milik Haji Agus Salim di Jalan Gereja Theresia, sekarang Jalan H
Agus Salim.
Periode menumpang di rumah orang baru berakhir ketika mereka
menempati rumah di Jalan Jawa pada akhir 1946. Rumah tanpa perabotan ini
dibeli pemerintah dari seorang saudagar Arab dan kemudian diserahkan
untuk Menteri Penerangan. “Kami mengisi rumah itu dengan perabot bekas,”
kata Lies.
Selama menjadi menteri, Natsir jarang bertemu dengan keluarga karena
lebih banyak berdinas di Yogyakarta. Di sana pula dia pertama berjumpa
dengan guru besar dari Universitas Cornell, George McTurnan Kahin.
“Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam
pemerintahan,” tulis Kahin dalam buku memperingati 70 tahun Mohammad
Natsir.
Dia melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya
dua setel dan sudah butut. Kahin, yang mendapat info dari Haji Agus
Salim me-ngenai sosok Natsir, belakangan tahu bahwa staf Kementerian
Penerangan mengumpulkan uang membelikan pakaian supaya bos mereka
terlihat pantas sebagai seorang menteri.
Penampilan Natsir tidak berubah saat menjadi Perdana Menteri Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950. Keluarga Natsir menempati
rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi),
Jakarta Pusat. Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam di-nilai tidak
layak buat pemimpin pemerintah. Rumah di Jalan Proklamasi itu lengkap
dengan perabot-an sehingga Natsir dan keluarganya hanya membawa koper
berisi pakaian dari Jalan Jawa.
Pada masa ini kehidupan keluarga Natsir sudah dibatasi protokoler.
Rumah dijaga polisi dan sang Perdana Menteri selalu didampingi pengawal.
-Pemerintah juga menyediakan pembantu yang membenahi rumah, tukang cuci
dan masak, serta tukang kebun. “Semua fasilitas tidak membuat kami
manja dan besar kepala,” ujar Lies.
Putri tertua Natsir yang saat itu duduk di kelas II sekolah me-nengah
pertama tersebut tetap naik sepeda ke sekolah karena jarak-nya dekat.
Adik-adiknya antar-jemput dengan mobil DeSoto yang dibeli dari uang
sendiri. Ibunya masih melanjutkan belanja ke pasar dan kadang masak
sendiri. Lies mengatakan keluarganya tidak pernah memanfaatkan fasilitas
pemerintah, misalnya perjalanan dinas.
Contoh lain kejujuran Natsir selama menjadi pejabat negara didengar
pula oleh Amien Rais, bekas Ketua Umum Muhammadiyah. Ketika masih
mahasiswa, ia mendengar cerita Khusni Muis yang pernah menjadi Ketua
Muhammadiyah Kalimantan Selatan.
Syahdan, Khusni menuturkan, ia pernah datang ke Jakarta untuk urusan
partai (saat itu Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi).
Ketika hendak pulang ke Banjarmasin, ia mampir ke rumah Natsir.
Tujuannya meminjam uang untuk ongkos pulang. Tapi Natsir menjawab tidak
punya uang karena belum gajian. Natsir lalu meminjam uang dari kas
majalah Hikmah yang ia pimpin. “Bayangkan, Perdana Menteri tidak
memegang uang. Kalau sekarang, tidak masuk akal,” ujar Amien.
Tatkala Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada
Maret 1951, sekretarisnya, Maria Ulfa, menyodorkan catatan sisa dana
taktis. Sal-donya lumayan banyak. Maria mengatakan dana itu menjadi hak
perdana menteri. Tapi Natsir menggeleng. Dana itu akhirnya dilimpahkan
ke koperasi karyawan tanpa sepeser pun mampir ke kantong pemiliknya.
Dia juga pernah meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden.
Setelah itu, ia pulang berboncengan sepeda dengan sopirnya. Keluarganya
pindah lagi ke rumah di Jalan Jawa setelah Natsir turun dari jabatan
perdana menteri. “Kami kembali ke kehidupan semula,” kata Lies.
Pola hidup sederhana itu pula yang membuat anak-anak Natsir mampu
bertahan saat suratan takdir mengubah hidup mereka dari kelompok “anak
Menteng” menjadi “anak hutan” di Sumatera ketika meletus pemberontakan
Pemerintahan Revolusio-ner Republik Indonesia/Perju-angan Rakyat
Semesta.
Setelah periode hidup di hutan dan Natsir mendekam dari satu penjara
ke penjara yang lain selama 1960-1966, keluarga mereka kehilangan rumah
di Jalan Jawa, termasuk mobil DeSoto. Harta itu diambil alih seorang
kerabat seorang pejabat pemerintah.
Mereka menjalani “kehidupan nomaden,” terus berpindah kontrakan, dari
paviliun di Jalan Surabaya sampai rumah petak di Jalan Juana, di
belakang Jalan Blora, Jakarta Pusat. Rumah itu cuma terdiri atas satu
kamar tidur, ruang tamu kecil, dan ruang makan merangkap dapur.
Setelah Natsir bebas dari Rumah Tahanan Militer Keagung-an Jakarta
pada 1966, ia membeli rumah milik kawannya, Bahartah, di Jalan Jawa 46
(sekarang Jalan H. O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Rumah itu
sebetulnya dijual dengan “harga teman”, tapi Natsir tetap tidak
mempu-nyai uang. Alhasil, ia harus mengais pinjaman dari sejumlah kawan
dan dicicil selama bertahun-tahun.
Teladan kesederhanaan tetap ia tunjukkan saat memimpin Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia pada masa Orde Baru. Bekas Menteri-Sekretaris Negara
Yusril Ihza Mahendra, yang ketika itu pernah menjadi anggota staf
Natsir, menuturkan betapa bosnya acap ke kantor mengenakan kemeja
itu-itu saja. Kalau tidak baju putih yang di bagian kantongnya ada noda
bekas tinta, kemeja lain adalah batik berwarna biru.
Saat ulang tahun ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya
supaya menjaga rumah keluarga di Jalan Cokro-aminoto 46 dan buku-buku
karyanya. Lima tahun kemudian ia menutup mata selamanya. Setahun
sepeninggalnya, kelima anaknya, Lies, Asma Faridah, Hasnah Faizah,
Aisyahtul Asriah, dan Fauzie Natsir, sepakat menjual rumah peninggalan
almarhum: mereka tidak sanggup membayar pajaknya.
[majalah.tempointeraktif]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar