Bencinya Majalah Tempo pada Syariat Islam
Oleh: Ustadz Hartono Ahmad Jaiz
- Majalah Tempo menulis: :“Indonesia tampaknya bukan tempat yang tepat untuk menegakkan hukum yang berlatar belakang syariah.”
- Kebijakan Tempo anti Perda Syariah dan Undang-Undang yang Islami ini sebenarnya sudah lama dan nampak terang benderang pada Tempo edisi 4 September 2011, dengan menampilkan judul liputan khusus: Perda Syariah Untuk Apa.
- Kebijakan redaksinya nampak dalam kolom opininya yang menyatakan :“Indonesia tampaknya bukan tempat yang tepat untuk menegakkan hukum yang berlatar belakang syariah.”
Ketidakrelaan Tempo itu tampaknya sejenis pula dengan ketidak relaan orang-orang yang disifati Allah Ta’ala ini:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلا نَصِيرٍ (١٢٠)
120. Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti
agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk
(yang benar)”. dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu. (QS Al-Baqarah: 120).
Bila ketidak relaan itu bermuatan memusuhi Islam, maka jalurnya pun telah ditegaskan Allah Ta’ala:
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا
82. Sesungguhnya
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap
orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang
musyrik. (QS Al-Maaidah/ 5: 82).
Bila tulisan itu dimaksudkan untuk menghujat syariat Islam, maka Allah telah menyifati:
وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا كُلُّ خَتَّارٍ كَفُورٍ (٣٢)
32. Dan tidak ada yang mengingkari ayat- ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar. (QS Luqman/31: 32)
وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلا الْكَافِرُونَ (٤٧)
Dan Tiadalah yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir. (QS Al-‘ankabut/ 29: 47).
Bila
tulisan itu dimaksudkan merupakan kritik tajam bahwa syariat Islam
diterapkan itu mencelakai, maka Allah Ta’ala telah berfirman:
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى (٢) إِلا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى (٣)تَنْزِيلا مِمَّنْ خَلَقَ الأرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ الْعُلا (٤)
2. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah;
3. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah),
4. Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (QS Thaha: 2-4).
Bila
tulisan Tempo itu dimaksudkan bahwa syariat Islam itu tidak layak
diterapkan dan seharusnya diganti yang lain, maka ancaman Allah ta’ala
pun tegas:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (١١٥)
115. Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali. (QS An-Nisaa’/ 4: 115).
[348] Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
Bila maksudnya untuk menyakitu Ummat islam, maka Allah ta’ala telah mengingatkan dengan member khabar:
لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ (١٨٦)
186. Kamu
sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu
sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab
sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan
yang banyak yang menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, maka
sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (QS Ali Imran: 186).
Cukuplah jelaslah firman Allah Ta’ala itu bagi orang yang masih menggunakan pikirannya.
- Majalah Tempo dalam pemberitaannya pernah membela Dr Nasr Hamid Abu Zaid yang belakangan divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir karena menganggap Al-Qur’an adalah muntaj tsaqafi (produk budaya).
Inilah ulasan singkatnya.
Shahin dan vonis murtad atas Nashr Hamid Abu Zayd
Upaya Shahin untuk menegaskan murtadnya Nashr Hamid Abu Zayd hingga benar-benar Nashr yang menganggap al-Qur’an adalah munatj tsaqafi (produk
budaya) divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir 1996 telah menjadi
kenyataan sejarah. Nashr Hamid Abu Zayd kemudian justru lari ke Belanda
dan diangkat sebagai guru besar Ulumul Qur’an (di antara muridnya ada
yang dosen IAIN kini UIN Jogjakarta).
Abdus
Shabur Shahin kini telah wafat pada hari Ahad (26/9 2010). Sedang Nashr
Hamid Abu zayd pun telah mati, Senin pagi (5/ Juli 2010) di Cairo akibat
terkena virus aneh, setelah pulang dari Indonesia karena ditolak
kehadirannya di Indonesia oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) Riau, dan
Jawa Timur.
Untuk
melihat seberapa pergulatan awal dan formal antara Abdus Shabur Shahin
dan tokoh sesat Nashr Hamid Abu zaid, berikut kami kutipkan tulisan
Ustadz Hartono Ahmad Jaiz tahun 1993 sebagai berikut:
Ulama Mesir Tegar Menghadapi Kelompok Intelektual Sekular
Tegarnya
ulama Mesir dalam menghadapi aneka usaha kelompok intelektual
sekular pantas ditiru. Kasus terakhir, gagalnya ilmuwan sekular
Dr Nashr Hamid Abu Zaid untuk meningkatkan statusnya menjadi
profesor di Universitas Cairo adalah bukti ketegaran ulama Mesir
dalam menghadapi sekularisasi.
Daud
Rasyid MA, alumni Fakultas Darul Ulum jurusan Syari’ah Universitas
Cairo, mengemukakan kasus ramainya masalah sekularisasi di
Mesir itu kepada penulis, 18/8 1993.
Yang
jadi pertanyaan, lanjut Daud Rasyid, kenapa hangatnya pempopuleran
sekularisasi itu waktunya bersamaan antara di Mesir dan Indonesia.
Sifatnya pun sama, sekularisasi itu didukung oleh media massa
tertentu. Dan tokohnya saling kenal. Bahkan tokoh sekular Mesir,
Hassan Hanafi, disebut-sebut oleh tokoh Indonesia seperti Nurcholis
Madjid sering saling berjumpa dalam seminar di
Eropa,
ungkap Daud. Penggerak sekularisasi itu adalah pengikut-pengikut
Thaha Husein dan Ali Abdul Raziq yang dikucilkan oleh para ulama
Mesir namun di Indonesia disanjung.
Pertanyaan
kedua, lanjutnya, kenapa lontaran sekularisasi itu justru
sengaja dilontarkan saat muslimin di berbagai tempat sedang dibantai
oleh non Muslim seperti di Bosnia, Palestina, Somalia, Kashmir,
dan Myanmar.
Kasus
terakhir tersebut (gagalnya Dr Abu Zaid, asisten profesor pada
jurusan Bahasa Arab, dalam meraih profesor), lanjut Daud Rasyid, justru
diputar balikkan faktanya di Indonesia oleh majalah berita di Jakarta
pekan lalu, dengan menyebut pemimpin pengujinya orang fundamentalis.
Kemudian
3 orang dari anggota itu ditugasi untuk meneliti karya ilmiyah
anggota badan pengajar yang mengajukan diri untuk meningkatkan
status.
Karya
“ilmiyah” Dr Nashr Hamid Abu Zaid ini bukan saja tertolak dari
segi ilmiyah, tetapi justru dari faktor aqidah pula. Panitia Ilmiyah
Tetap Peningkatan Status di Universitas itu memutuskan gagalnya Dr
Nashr Abu Zaid dalam meraih profesor setelah 3 anggotanya
memeriksa karya ilmiyah Nashr. 3 pemeriksa itu: Dr Abdus Shobur Shahin profesor pada Fakultas Darul Ulum tempat
Daud Rasyid belajar, Dr Mahmud Makki profesor pada Fakultas
Adab, dan Dr Auni Abdur Rauf profesor pada Fakultas Bahasa-bahasa
(Alsun). Laporan pemeriksa pertama menyatakan negatif, sementara
laporan dua lainnya menganggap laik Dr Nashr. Lantas panitia
mengesahkan laporan Dr Abdus Shobur Shahin yang menemukan hal-hal
negatif dalam karya Abu Zaid itu, dan ditandatangani oleh
profesor-profesor anggota lajnah: Syauqi Dhoif, Ahmad Haikal,
Ramadhan Abut Tawwab, Nabilah Ibrahim, Mahmud Hijari, Abdus Salam
Abdul Aziz, Auni Abdur Rauf, Mahmud Dzahni, Abdus Shobur Shahin; dan
tak mau bertandatangan Dr Sayid Hamid Siyag. Kemudian Dewan
Universitas (Majlis Al-Jami’ah) sepakat atas laporan Dr Abdus
Shobur Shahin dan menolak peningkatan status Dr Nashr Hamid Abu
Zaid.
Merendahkan Al-Quran
Dr Abu Zaid itu, menurut laporan Majalah Palestin Al-Muslimah Juli 1993, berpendapat bahwa al-Quran itu legende dan hasil budaya manusia, sedang Syafi’i adalah mulfiq muta’asshibpencampur aduk madzhab yang fanatis, serta sahabat bukanlah orang-orang pilihan.
Dr
Abdus Shobur dalam laporannya menyebutkan, karya Dr Abu Zaid itu
sangat merendahkan Al-Quran dan Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam, menghina sahabat dan Imam Syafi’i rahimahullah, dan
mengemukakan kesalahan- kesalahan besar tentang dzat Ketuhanan, serta
pemikiran sekular dan marxisme berdasarkan teori meterialisme
yang tertolak kebenarannya.
Majalah
itu melaporkan, keputusan gagalnya dosen untuk meraih profesor
seperti itu sudah biasa. Namun, dalam kasus Abu Zaid yang sekular
itu, begitu Universitas memutuskan gagalnya sang tokoh, serentak
sontak penulis-penulis sekular dan marxis ramai-ramai mengecam Dr
Abdus Shobur Abu Shahin sebagai ekstrimis dan teroris pemikiran.
sedang Universitasnya dianggap sebagaipembantai kebebasan mimbar
ilmiyah dan pembersihan pemikiran. Kecaman-kecaman itu kemudian
ditujukan kepada aliran Islam.
Kecaman
dari golongan kiri dan sekular itulah yang disampaikan pula di
Indonesia oleh sebuah majalah mingguan (maksudnya Majalah Tempo, red
NM), ungkap Daud Rasyid. “Padahal seharusnya justru ketegasan para
ulama Mesir dalam menolak usaha sekularisasi itulah yang perlu
dihargai dan ditiru oleh ulama Indonesia,” keluh Daud Rasyid yang saat
itu sedang menyiapkan buku ”Pembaruan” Islam dan Orientalisme dalam
Sorotan, menanggapi pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta, Rabu
18/8 1993M, 30 Shafar 1414H
(Dikutip dari buku Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994).
- Majalah Tempo dalam berita-beritanya
juga bersemangat dalam membela Salman Rushdie penulis novel Ayat-ayat
Setan yang isinya menghina Islam, diterbitkan tahun 1988. Ummat Islam
sedunia mengutuk Salman Rushdie namun Majalah Tempo justru membelanya.
Hingga terjadi polemic dengan Majalah Panji Masyarakat warisan Buya
Hamka, ketua umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang pertama (sejak
berdirinya MUI 1975). Rupanya saking geramnya terhadap Tempo, maka
Majalah Panji Masyarakat menulis dengan judul Goenter Mahoun. Apakah
yang dimaksud Goenter Mahon itu suatu tohokan terhadap Goenawan Mohamad
pemimpin Tempo atau makna sebenarnya apa, orang yang paling tahu tentang
itu adalah Ridwan Saidi. Penulis di Panji Masyarakat dengan judul
Goenter Mahoun itu bernama kun-yah Abu Jihan, pengisi tetap di majalah
Islam tengah bulanan itu. Apa arti Mahoun, ini ada keterangan: Mahoun,
nama merendahkan untuk Muhammad, ditransfer di Skotlandia dengan iblis,
yang disebut Old Mahoun. Definisi diambil dari The Encyclopædia Nuttall,
diedit oleh Pendeta James Wood (1907). (Mahoun, a contemptuous name
for Mahomet, transferred in Scotland to the devil, who was called Old
Mahoun.Definition taken from The Nuttall Encyclopædia, edited by the
Reverend James Wood (1907). Sampai kini Majalah Tempo tampaknya begitu-begitu juga.
(voa-islam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar