Minggu, 02 Desember 2012

Sejarah Indonesia Minus Tafsir Sekuler


UMAT Islam Indonesia pantas bersyukur. Setelah sebelumnya Moh. Natsir diresmikan sebagai Pahlawan Nasional RI pada tanggal 10 November 2008, maka kini Buya Hamka, Mr. Syafruddin Prawiranegara dan KH. Idham Chalid mendapatkan pengakuan yang sama terhitung sejak 8 November 2011.
Fakta bahwa Pemerintah RI membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengakui kepahlawanan Moh. Natsir (15 tahun sesudah wafatnya), Hamka (30 tahun) dan Syafruddin Prawiranegara (22 tahun) adalah suatu fenomena yang perlu mendapat perhatian dan menjadi bahan diskusi demi kelangsungan bangsa ini. Pada kenyataannya, ketiga tokoh ini telah menjadi pahlawan di mata umat Islam jauh sebelum pemerintah mengakuinya.
Moh. Natsir adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Beliau ikut mendirikan dan membesarkan partai politik Masyumi yang pada jamannya menjadi tempat penyaluran aspirasi politik umat Islam Indonesia. Natsir pernah mendapat amanah sebagai Menteri Penerangan dan menjadi anggota parlemen sebagai wakil rakyat dari Masyumi. Pada tahun 1950, Natsir mengajukan mosi integral yang kemudian diterima secara aklamasi, sehingga bentuk negara perserikatan ditinggalkan untuk kemudian kembali pada format Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Natsir juga sempat menjadi orang kepercayaan Presiden Soekarno sehingga ia diangkat menjadi Perdana Menteri. Dalam pergaulan internasional, Natsir dikenal luas karena pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim Sedunia (World Moslem Congress) dan anggota Dewan Eksekutif Rabithah ‘Alam Islamiy. Setelah karir politiknya berakhir, Natsir membaktikan hidupnya dalam dakwah, terutama melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Abdul Malik Karim Amrullah, atau biasa dikenal dengan nama Buya Hamka, adalah ulama-sastrawan yang memiliki karisma tersendiri. Jika di dunia sastra beliau dikenal karena karya-karyanya seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, maka namanya pun tercatat dalam tinta emas sejarah Islam di Indonesia karena karya-karyanya yang sangat banyak seperti Tasauf Modern, Pelajaran Agama Islam, dan tentu saja Tafsir Al Azhar yang merupakan magnum opus-nya. Meski Hamka sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan politik, kontribusinya juga tidak bisa diabaikan begitu saja, karena beliau pernah terpilih menjadi wakil rakyat dari Masyumi, bahkan juga menjadi Juru Kampanye Utama dari partai tersebut. Dunia internasional mengenalnya sebagai seorang akademisi, terutama setelah beliau menerima gelar Doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, Mesir. Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto memintanya untuk memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sepeninggal Buya Hamka, karya-karya beliau masih terus diperbincangkan di Indonesia dan di negeri-negeri jiran seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Di antara kedua rekannya di atas, Syafruddin Prawiranegara memiliki ‘keunikan’ tersendiri. Boleh dibilang karir politiknya ‘lebih tinggi’ daripada Natsir, karena Syafruddin pernah menjadi Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Gubernur Bank Sentral Indonesia, bahkan juga sebagai Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Keberadaan pemerintahan darurat pada saat itu memang sangat dibutuhkan karena Yogyakarya (pusat pemerintah RI pada masa itu) telah jatuh ke tangan Belanda dalam peristiwa Agresi Militer II pada tahun 1948. Setelah keadaan aman kembali, Syafruddin membuktikan sifat amanahnya dengan mengembalikan mandat kepresidenan kepada Soekarno; sebuah sikap yang sulit dicari pembandingnya di masa kini. Sebagaimana Natsir dan Hamka, Syafruddin berkonsentrasi di lapangan dakwah pada akhir hayatnya.
Baik Natsir, Hamka dan Syafruddin Prawiranegara sama-sama menemukan ‘batu sandungan’ dalam sejarah nasional Indonesia. Natsir dan Syafruddin dikenal sebagai tokoh-tokoh kunci dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Orde Lama secara paksa membubarkan Masyumi, membawa serta nama Natsir dan Hamka dalam diskriminasi yang berkelanjutan hingga masa Orde Baru. Hamka sendiri pernah ditahan karena tuduhan subversif oleh pemerintah Orde Lama dan mundur dari jabatan Ketua MUI karena tekanan yang hebat akibat fatwa haramnya perayaan Natal bersama.
Terpeliharanya nama besar ketiga tokoh tersebut meski diskriminasi sejarah terus dilakukan adalah bukti bahwa catatan sejarah tidak selalu sejalan dengan pandangan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, ada hegemoni kekuatan ideologis yang memaksakan versi sejarah tertentu kepada masyarakat.
PRRI, misalnya, tidak selalu dianggap sebagai gerakan pemberontakan, meski buku-buku pelajaran sejarah menyatakan demikian. Di tengah-tengah masyarakat Sumatera yang hidup pada jaman itu, meskipun tidak semuanya mendukung PRRI, namun cukup banyak yang tidak sepakat dengan pendapat pemerintah yang menganggapnya sebagai gerakan pemberontak. Sebaliknya, langkah-langkah penumpasan PRRI justru telah menimbulkan trauma yang cukup mendalam bagi sebagian masyarakat yang sebenarnya tidak banyak tahu tentang konstelasi politik nasional. Di samping itu, kini semakin banyak analis yang sepakat bahwa PRRI adalah gerakan koreksi terhadap pemerintah pusat yang telah membiarkan terjadinya ketimpangan sosial dan banyak dipengaruhi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dekatnya PKI dengan kekuasaan juga mengakibatkan jatuhnya banyak korban politik dari kalangan umat Islam, terutama lawan-lawan politiknya seperti Masyumi. Sebagai akibatnya, Masyumi dibubarkan secara paksa dan para pimpinannya tidak boleh lagi terjun ke ranah politik. Orde Baru banyak meralat keputusan-keputusan Orde Lama, termasuk membebaskan tahanan-tahanan politik yang tidak pernah melewati proses peradilan seperti Hamka, namun Masyumi tetap tidak dibiarkan hidup kembali, dan diskriminasi politik terhadap umat Islam pun berlanjut.
Buya Hamka, yang telah dua kali menjadi korban politik rejim yang berkuasa, adalah contoh kasus yang cukup menarik untuk menunjukkan bagaimana diskriminasi politik bekerja dalam waktu yang sangat panjang. Beliau tidak pernah mundur dari sikap penentangannya terhadap komunisme dan sekularisme. Sikapnya terhadap PKI sangat tegas, dan beliau tak pernah ragu untuk mengkritik Presiden Soekarno sekalipun. Dua tahun lamanya beliau mendekam di penjara tanpa proses peradilan akibat tuduhan ikut serta dalam rapat gelap merencanakan pembunuhan Soekarno. Hamka baru keluar dari penjara setelah Orde Lama jatuh. Orde Baru, meskipun pada awalnya terlihat berusaha ‘mengulurkan tangan’ kepada beliau dengan mengangkatnya sebagai Ketua MUI yang pertama, pada akhirnya harus berpisah jalan pula karena perbedaan pendirian yang sangat tajam. Pada masa itu, toleransi antarumat beragama dimaknai dengan perayaan hari besar agama bersama, dan pemaknaan toleransi yang semacam inilah yang dipaksakan kepada masyarakat. MUI langsung merespon tegas dengan mengeluarkan fatwa haramnya perayaan Natal bersama, dan konflik berakhir dengan mundurnya Hamka dari jabatan Ketua MUI.
Jauh setelah berlalunya masa PRRI, Masyumi dan fatwa haramnya perayaan Natal bersama, sejarah terus mengesampingkan para ulama besar yang pernah berseberangan dengan penguasa sekuler negeri ini. Bagaimana negarawan berkelas internasional seperti Moh. Natsir, mantan Presiden seperti Syafruddin Prawiranegara, dan ulama besar selevel Buya Hamka bisa luput diceritakan dalam lembaran-lembaran buku pelajaran Sejarah?
Apa yang dialami oleh para ulama adalah cerminan dari kondisi umatnya. Hegemoni tafsir sekuler terhadap sejarah Indonesia telah membawa penderitaan berkepanjangan bagi umat Islam di negeri ini. Puluhan tahun lamanya umat Muslim tidak mendapatkan pengakuan yang wajar atas kontribusinya untuk Indonesia.
Hingga kini, masih saja ditemukan dikotomi antara golongan ‘Islamis’ dan ‘nasionalis’, seolah-olah yang Islamis tak bisa nasionalis. Kita masih menemukan begitu banyak peraturan yang justru menginjak-injak hak umat Muslim untuk menjalankan ajaran agamanya dengan baik. Di beberapa tempat, kita masih temukan larangan mengenakan jilbab. Setiap kali kata “syariat” disebut dalam proses pembentukan peraturan daerah (meskipun sebenarnya kata tersebut tidak dicantumkan), muncul kesan bahwa kaum ‘Islamis’ akan melakukan diskriminasi terhadap umat beragama lainnya.
Semua kesan negatif terhadap Islam yang seolah muncul secara otomatis (taken for granted) ini adalah bukti adanya hegemoni tafsir sekuler terhadap sejarah nasional bangsa ini. Para penulis sejarah memaksakan pemikiran-pemikiran sekuler yang menekan masyarakat untuk meninggalkan agamanya masing-masing, menempatkannya di sudut peradaban dan menjadikannya tidak relevan dalam kehidupan sehari-hari. Seolah-olah umat Islam yang Islamis tidak pernah berjuang dan bekerja untuk Indonesia, padahal darah umat Muslim-lah yang paling banyak menggenangi tanah Indonesia pada jaman revolusi fisik dahulu. Para ulama dikesankan sebagai kekuatan politik tersendiri yang masing-masing bergerak demi kepentingan pribadi atau hanya demi umat Muslim (dengan mengabaikan umat lain), padahal merekalah yang dahulu mengobarkan semangat jihad untuk membebaskan negeri ini dari cengkeraman penjajah. Demikian juga tuntutan umat Muslim untuk mendapatkan kebebasan menjalankan syariat Islam senantiasa dianggap sebagai usaha untuk menindas umat-umat beragama lainnya, padahal kebebasan menjalankan agama masing-masing, termasuk kepada umat non-Muslim, adalah bagian yang sangat fundamental dari syariat Islam yang sebenarnya.
Para ulama-negarawan seperti Natsir, Hamka dan Syafruddin Prawiranegara telah sejak lama menekankan hal ini. Akan tetapi, doktrin sekularisme – yang sesungguhnya tidak mengakar dalam jiwa bangsa Indonesia – tetap dipertahankan oleh para penguasa dari masa ke masa, sehingga tafsir sejarah pun senantiasa menggunakan pandangan hidup (worldview) sekuler.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Moh. Natsir, Hamka, KH. Idham Chalid dan Syafruddin Prawiranegara adalah suatu awal yang bagus untuk memulai dialog dengan seluruh elemen bangsa, terutama sekali umat Muslim. Sudah bukan waktunya lagi kita mempertentangkan antara yang Islamis dan nasionalis. Ini adalah waktu yang tepat untuk meninjau dan menulis ulang sejarah dengan semangat kebersamaan dan kejujuran, bukan dengan semangat sekularisme yang senantiasa memusuhi agama dan kaum agamawan.*

Penulis peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar