Minggu, 02 Desember 2012

Kisah Sutan, Gusdurian dan Fanatik yang Buruk


 
Gusdurian demo Sutan. Foto detiknews
Oleh: Abdullah El-Indunisiy HARI-hari ini Sutan Bhatoegana menjadi pembicaraan. Sutan yang juga pentolan DPP Partai Demokrat ini dianggap telah menghina (alm) Abdurrahman Wahid Presiden ketiga Indonesia. Ia dituding telah mengucapkan kalimat yang menuduh Gus Dur –panggilan akrab beliau- sebagai koruptor, sebabnya ia lengser karena tersangkut Brunei Gate dan Bullog gate.
Seperti diberitakan, Sutan dituding menghina Gus Dur saat mengisi sebuah diskusi. Hal ini pun memicu reaksi dari kalangan Nahdliyin. Sutan menilai, tuduhan itu adalah fitnah karena dirinya sama sekali tidak mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan Presiden ke-3 RI tersebut. Sutan menjelaskan, kasus ini menjadi ramai setelah mantan Juru Bicara Gus Dur, Adhie Massardi, mengeluarkan pernyataan terkait dialog tentang Pembubaran BP Migas untuk Kemakmuran Rakyat pada Rabu, 21 November lalu.
Seperti bola liar, ucapan Sutan disambar elemen pecinta Gus Dur yang menamakan diri Gusdurian (istilah untuk pendukung Gus Dur, red) dengan unjuk rasa dan demo di berbagai daerah, khususnya di Jawa Timur, kantong terbesar NU. Dalam aksinya yang juga diikuti oleh GP Ansor, PMII, IPNU, dan organisasi di bawah naungan NU lainnya ini, mengutuk keras dan menuntut Sutan meminta maaf kepada keluarga besar Nahdhatul Ulama. Syukurlah, persoalan mencapai klimaks ketika Sutan ketika akhirnya ia benar-benar meminta maaf  kepada keluarga besar mantan Presiden RI ini, di Ciganjur, Jakarta Selatan, Kamis (29/11/2012).
Kasus Sutan ini mencuatkan sejumlah ironi, ketika rasa fanatik yang tidak proposional mampu menjadi pemicu perpecahan dan aksi radikal. Almarhum Gus Dur yang oleh sebagian kecil Kaum Nahdhiyyin diyakini sebagai Wali Allah, sosok yang sakral, tidak bisa salah, dan tidak boleh dikritik, telah diposisikan tidak sebagaimana mestinya. Cara menyikapinya pun juga kurang elegan dan bijaksana.
Bandingkan pada saat menyikapi penghinaan terhadap Nabinya Gus Dur dan Nabi umat Islam seluruh dunia di sepanjang masa, tidak ada pembelaan yang sepantasnya. Justru ada yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad tidak perlu dibela. Sekalipun seluruh dunia menghina beliau, tidak sedikitpun mengurangi kemuliaan dan derajatnya.
Rois Syuriyah PBNU KH Masdar F Mas'udi, misalnya, hanya mengeluarkan statemen, “Umat Islam memang marah jika Nabinya dihina. Tapi harus dewasa menghadapinya. Kita juga ikut marah. Barangkali si pembikin film itu senang sekali kita berkumpul di sini untuk membahas dia. Kalau kita cuekkin, semuanya cuek, saya kira, dia akan malu sendiri. Ke depan, kalau ada orang yang memprovokasi kebencian terhadap agama lain, lebih baik kita doakan supaya segera mendapat bimbingan Tuhan dan diampuni segala dosanya. Saya kira itu lebih baik. Sekali lagi, ke depan, ketika ada orang atau kelompok yang memprovokasi kebencian kepada orang lain, abaikan saja!”

Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj sendiri mengatakan ketika muncul film “Innocence of Muslims” mengatakan;
“Tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi dengan tindakan yang justru kontra produktif. Dari dulu sampai sekarang, selalu ada orang yang tidak suka kepada Rasulullah, tetapi kita jangan sampai menghabiskan energi untuk itu, apalagi sampai menimbulkan korban jiwa. Allah akan menjaga nama baik beliau, baik ketika masih hidup atau sesudah wafat.”
Bukankah sikap Gusdurian yang mengejar-kejar anggota Partai Demokrat di Cirebon, mendatangi dan menyegel kantor partai penguasa saat ini di berbagai daerah merupakan sikap berlebihan, menghabiskan energi, dapat menimbulkan korban, kontra produktif, dan tidak dewasa?
Fanatik itu Buruk
Tidak hanya dalam kasus Sutan Bathoegana,  penyikapan pendukung Gus Dur pada kasus-kasus sebelumnya yang melibatkan ‘kehormatan’ Gus Dur, acap cenderung anarkis, intoleran, dan tidak menghormati pebedaan pendapat. Padahal Gus Dur di masa hayatnya bahkan hingga kini dipandang sebagai sosok yang toleran terhadap perbedaan.
Sikap ini adalah cermin ta`assub atau fanatisme buta. Istilah ta`ashshub cenderung diartikan dengan fanatik buta terhadap golongan, benar atau salah. Berbagai konflik antarumat Islam, sering terjadi hanya untuk membela golongan, ini namanya penyakit ta`ashshub. Di zaman jahiliyah (sebelum Islam datang), penyakit ini telah mencabik-cabik keutuhan masyarakat pada waktu itu.
Fanatisme dapat melumpuhkan otak-otak cemerlang, akal sehat, menggantinya dengan kekerasan dan perang horizontal. Demi kecintaan yang membabi buta tanpa didasari oleh cinta dan benci karena Allah, mereka telah menunjukkan sikap ketidakdewasaan.
Sejak dahulu kala, fanatisme dalam hal yang tidak prinsipil telah terbukti menjadi racun yang meracuni persatuan. Detik-detik jatuhnya Al-Quds di tangan Kaum Salibis, misalnya, salah satu sebabnya karena perselisihan dan sikap fanatik terhadap guru dan madzhabnya. Setiap pihak mengaku sebagai yang paling benar, selain mereka adalah kafir.
Alwi Alatas dalam bukunya “Nuruddin Zanki & Perang Salib” mengabadikan rentetan jatuhnya Al-Quds disebabkan pertentangan hebat antara masing-masing pengikut madzhab.
“Perbedaan-perbedaan di antara para ulama madzhab fiqih pada masa itu sangat besar. Mereka jatuh pada fanatisme madzhab dan cenderung saling memusuhi dan mengkafirkan, padahal para pendiri madzhab tersebut saling menjaga hubungan persaudaraan dan bertoleransi terhdap perbedaan-perbedaan furu` yang ada di antara mereka. Namun para pengikut madzhab telah mengangkat kedudukan tokoh-tokoh mereka pada kedudukan yang seolah sama dengan Al-Qur`an dan Sunnah. Sehingga tokoh dan penganut madzhab yang berbeda dianggap sebagai orang yang menyimpang dari agama.” (halaman 69)
Sebagai hasil dari aksi oknum pengikut madzhab yang fanatik itu, pada tahun 469 Hijriyah terjadi peperangan sesama umat Islam di Madrasah Nizamiyah. Kejadian memilukan ini menelan korban tewas sebanyak 20 jiwa.
Catatan Sejarah
Bibit fanatisme telah ada jauh sebelum peristiwa jatuhnya Al-Quds, bahkan di masa Rasululah Shallallahu ‘alaihi Wassalam saja nyaris terjadi peperangan antara Kabilah Aus dan Khazraj akibat provokasi dari seorang pemuda yahudi yang menyusup. H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya “Membangun Peradaban : Sejarah Muhammad Sejak Sebelum Diutus Menjadi Nabi” telah menulis bahwa suatu hari seorang Yahudi melewati sekelompok kaum Khazraj dan Aus yang sedang bertemu untuk berdamai. Tapi kemudian orang Yahudi ini berusaha memancing konflik antara mereka, dengan mengingatkan masa lalu yang penuh dengan permusuhan dan peperangan antarmereka. Mereka lalu terpancing.
Kemarahan antara kedua belah pihak hampir menyulut peperangan. Untungnya Rasulullah segera mendengar kejadian tersebut, lalu berkata kepada mereka: “Masihkah kalian menggelar kebiasaan zaman jalahilyah, sementara saya ada di tengah kalian.”
“Mendengar peringatan beliau itu banyak di antara kaum Muslim yang mendengarkannya menangis, menyesali kelengahannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Peristiwa yang cukup gawat itu diabadikan dalam Al-Quran agar menjadi pelajaran bagi umat Islam (Lihat Qs. Ali Imran 100-102, di buku H H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam  sangat membenci ta`ashshub. Ketika ditanya apa itu ta`ashshub, Rasulullah menjawab: “Kamu membantu kelompokmu sekalipun ia berbuat dzalim, itu adalah at ta`ashshub.” Dalam kesempatan lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: “Bukan dari golonganku siapa yang mengajak kepada atta'ashshub, berperang atas dasar atta`ashshub atau mati karena atta`ashshub.” (HR. Muslim).
Kesimpulan
Dalam Sunan At-Tirmidzi dan lain-lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda, “Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Tirmidzi). Dalam riwayat lain, Rasulullah juga bersabda: “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna imannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Dari dua hadits di atas kita bisa mengetahui bahwa kita harus memberikan kecintaan dan kesetiaan kita hanya kepada Allah semata. Kita harus mencintai terhadap sesuatu yang dicintai Allah, membenci terhadap segala yang dibenci Allah, ridla kepada apa yang diridlai Allah, tidak ridla kepada yang tidak diridlai Allah, memerintahkan kepada apa yang diperintahkan Allah, mencegah segala yang dicegah Allah, memberi kepada orang yang Allah cintai untuk memberikan dan tidak memberikan kepada orang yang Allah tidak suka jika ia diberi.
Fanatisme memberikan loyalitas berdasar hawa nafsu, kepentingan sesaat yang sarat hawa nafsu, terlepas dari ikatan iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Kita perlu memupus sikap fanatik kepada sosok manusia yang bisa salah dan terjatuh ke dalam kealpaan. Dasarkan rasa cinta dan benci hanya kepada Allah. Benarkan yang hak dan luruskan yang batil, juga karena Allah.*

Penulis peminat masalah sosial keagamaan
hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar