Sabtu, 15 Desember 2012

Barat Sekuler Ketika Memisahkan Ilmu Dari Agama

Islampos_adnin_armas
GAGASAN sekularisasi di Barat diyakini bukan terjadi pada abad 20 saja, tapi sudah memiliki akar historis sejak abad 17-18. Hal itu dimulai sejak ilmu pengetahuan dipisahkan dari agama. Demikian dikatakan oleh Direktur Eksekutif INSISTS, Adnin Armas MA dalam kajian dwipekanan INSISTS bertema “Sekular, Sekularisasi, dan Sekularisme Menurut Sayyid Naquib Al Attas”, Sabtu (15/12/2012).
Gelombang sekularisasi di Barat kemudian dipromosikan oleh banyak filsuf Kristen dengan gagasan penafian agama dalam kehidupan. Kristen dianggap gagal dalam menghapi tantangan zaman di antaranya penemuan-penemuan di bidang sains dan teknologi. Di satu sisi Kristen pun dihadapkan pada kritik atas otensitas bible.
Maka akibat hal ini, muncul berbagai filsuf mengenalkan ide sekularisasi di mana Kristen coba dipinggirkan sebagai sebuah agama. Dietrich Bonhoeffer, misalnya, mengatakan “Kita sedang menuju ke suatu masa yang tiada agama sama sekali… Bagaimana agar kita berbicara mengenai Tuhan tanpa agama… Bagaimana supaya kita berbicara dengan gaya sekular yang baru tentang Tuhan?”… “ Sudah tiba saatnya bagi Kristen tanpa agama.
Hal sama juga dikatakan teolog sekular liberal lainnya seperti Werner Pelz yang mengatakan “God is no more” atau Tuhan sudah tidak ada lagi. Begitu juga Wolwich dengan ide Tuhan tanpa tuhan.
“Artinya Tuhan ada, tapi dia tidak boleh ada dalam kehidupan,” terang Adnin menjelaskan.
Fenomena sekularisme di Barat kemudian mulai menjalar ke dunia Islam. Dalam konteks Indonesia, Adnin menyebut nama Nurcholish Madjid sebagai pelopor sekularisme di Indonesia. Meski menurutnya,  Nurcholish tidak membawa konsep baru, dia hanya meniru gagasan Harvey Cox.
Dalam tulisannya Sekali Lagi Tentang Sekularisme (1972), Nurcholish menyatakan bahwa akar gagasan sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung negasi dan afirmasi. Dan Islam, kata Cak Nur, dengan ajaran Tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis kepercayaan animisme. Ini bermakna dengan tauhid, terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada diri seorang Animis.
Pernyataan Cak Nur ini kemudian dikritik oleh Adnin. Ia menilai Nurcholish seharusnya membedakan antara arti sekular dalam etimologi maupun terminologi. Bahkan  Ahmad Wahib, rekan diskusi Cak Nur di tahun 1970-an juga banyak mengritik gagasan pendiri Universitas Paramadina itu.
Dalam buku Catatan Harian, Wahib mengatakan, “Adalah kurang terus terang bila Nurcholish mengartikan secular semata-mata dengan dunia atau masa kini dan sekedar mengatakan bahwa semua yang ada kini dan di sini adalah hal-hal sekular: nilai sekular, masyarakat sekular, orang sekular dan lain-lain. Sekular sebagai suatu sifat – misalnya mengenai suatu masyarakat yang menjadi tujuan proses sekularisasi yaitu masyarakat sekular-tidak saja harus didekati dari segi etimologi, tapi lebih penting lagi dari segi terminologi.”
Maka itu, sejatinya ajaran sekularisme tidak lain produk Barat yang sama sekali tidak bisa dimasukkan dalam Islam. Sebab sekularisme secara sistematis mencoba menghilangkan peran Tuhan dalam kehidupan.
Adnin kemudian mengetengahkan gagasan Sayyed Naquib Al Attas  agar umat Islam lebih mudah memahami gagasan sekularisme. Bagi Al Attas, ide sekularisasi dapat diringkas dalam tiga cakupan. Pertama, pemisahan nilai-nilai agama dari alam. Kedua, memisahkan antara agama dan politik. Ketiga, merelatifkan semua nilai-nilai. (Pz/Islampos)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar