Jumat, 05 April 2013

Variasi Jima, Perlu!

Purple-bibbed-Whiteteip-VERT-at-flower-_V5W0147Tandayapa-Bird-Lodge,-Ecuador
BAGI pasangan yang baru menikah, jima mungkin akan menjadi menu utama sehari-hari. Bahkan, keseharian pasangan pengantin baru cenderung hanya melulu soal jima dan jima saja.
Namun, bagaimana jika pernikahan sudah mencapai tahunan dan aktivitas jima kadang-kadang hanya mencapai titik pemenuhan kebutuhan dasar saja? Sehingga, jima tidak lagi menjadi hal utama dalam hubungan pernikahan.
Banyak faktor yang mempengaruhi mengapa jima tidak lagi menjadi pilihan dalam pernikahan diantaranya:
1. Kesibukan, kesibukan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi dan sosial menjadikan pasangan suami istri lupa akan kebutuhan jima mereka. Mereka lebih menikmati hidup apabila mereka kebutuhan ekonominya dikatakan layak dan kebutuhan sosialnya terpenuhi. Mereka rela pergi pagi-pagi dan pulang sudah larut malam. Intenitas bertemu juga jarang dan juga jarang berkomunikasi.
2. Faktor Anak, seringkali anak menjadi alasan klasik mengapa pasangan suami atau istri tidak mau diajak berjima. Awal pernikahan sebelum ada kehadiran seorang anak, kegiatan jima begitu menyenangkan, tetapi setelah ada kehadiran anak kegiatan itu pun terhalang. Apalagi kalau anak kita masih kecil-kecil dan masih tidur sekamar dengan kita.
3. Faktor Fisik, kesehatan adalah modal utama dalam jima, tanpa kesehatan jimapun menjadi terhalang. Orang yang kesehatannya prima maka untuk memenuhi kebutuhan akan jima tidak begitu terhalang. Lain lagi kalau kondisi orang itu sakit atau kondisi fisik yang tidak sempurna, secara tidak langsung kebutuhan jimapun terhambat karena keterbatasan tersebut.
4. Faktor Psikologi, tidak jarang kita jumpai banyak orang merasa stres karena apa yang menjadi impiannya selama ini belum atau bahkan tidak terwujud, atau faktor pekerjaan suami di kantor yang di bawah tekanan sehingga mudah sekali orang menjadi stress. Atau seseorang yang sangat rentan mengalami stress karena masalah yang sebenarnya masih bisa diatasinya. Apapun wujud dan sebab dari stres itu secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan seksnya. Mereka merasa tidak bergairah dalam menjalani hidup apalagi seseorang yang mengalami stres berat.
5. Faktor Pasangan, yang dimaksud disini adalah faktor suami atau istri, kadang kala kita sudah menggebu dan sangat bergairah ingin sekali berjima dengan pasangan kita. Dan tidak jarang pasangan kita menolak untuk diajak berhubungan. Banyak alasan yang diutarakan karena penolakannya. Akibatnya gairah kita yang tadinya membara menjadi dingin seketika karena penolakan pasangan kita.
Lantas, bagaiamana kehidupan jima bisa bangkit lagi di tengah aktivitas yang mulai padat serta tuntutan hidup yang mulai banyak? Mungkin langkah-langkah ini layak dicoba.
1. Berikan kecupan dengan berbagai makna pada pasangan, kadang karena kesibukan kecupan tidak lagi jadi hal yang istimewa. Di saat ada waktu luang kita bisa memberikan kecupan dengan sejuta makna, mencuri untuk mengecup pasangan dengan penuh perasaan akan membangkitkan gelora asmara.
2. Kenali apa dan daerah mana yang membuat pasangan lebih cepat bergelora. Banyak sekali daerah-daerah sensitif di sekitar tubuh kita, kita harus pandai-pandai mengeksploitasi untuk memciptakan gairah asmara. Dan tunjukan pula daerah sensitif kita pada pasangan.
3. Ciptakan variasi jima yang baru untuk menyelingi variasi bercinta yang telah ada. Kita akan lebih tertantang apabila kita punya sejuta cara untuk mencoba posisi baru untuk mendapatkan gaya bercinta yang lebih memberikan variasi. Sepanjang sesuai tuntunan syar’i, dibolehkan.
4. Jadikan jima sesuatu yang menyenangkan. Jika jima menjadi sesuatu yang menyenangkan tentunya kita akan berusaha meluangkan waktu untuk menikmatinya walaupun kesempatan sesempit apapun. sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar