Jumat, 26 April 2013

Nikmat Jima; Hak Istri Juga!

two-cats-almost-kissing-caro-sheridan--splityarnBARAT selalu begitu gigih dalam urusan syahwat. Mereka kerap mengadakan survey dan salah satunya menyebutkan bahwa para istri tidak merasakan kenikmatan jima dan sebagian mereka menyembunyikan bahkan berbohong dari suami mereka.
Padahal Islam sudah mengatur soal jima ini sedemikian rupa.
Ada tiga faktor utama penyebab seorang istri tidak merasakan kenikmatan berjima.
Pertama: suami cuek dan mau menang sendiri
Mungkin hal ini dilalaikan oleh sebagian suami, para suami ini hanya berpikir bagaimana mereka menunaikan hajat dan merasakan kepuasan kemudian selsai dan habis, titik. Memulai dengan kaku dan dingin tanpa pemanasan kemudian ditutup dengan Istri ditinggal tidur atau langsung pergi tanpa ada kata-kata penutup romantis yang sangat dinanti oleh istri.
Kedua: istri malu mengungkapkan dan berkomunikasi
Kemudian faktor lainnya, sebagian istri juga berbalut rasa malu dan segan ingin mengungkapkan keinginannya. Memang sifat dasar wanita yang berbalut malu. Padahal tidak sedikit wanita yang sangat berharap dan mereka juga sama dengan lelaki, jika tidak disentuh maka akan berpengaruh dengan emosi dan psikologis mereka.
Ketiga: wanita lebih butuh terhadap perhatian, kasih sayang dan belaian
Selain itu beberapa wanita tidak seperti laki-laki dimana jima’ adalah kebutuhan primer, karena kebutuhan primer wanita berupa perhatian, kasih sayang dan belaian terkadang melebihi kebutuhan jima’. Sehingga ada beberapa wanita yang sudah merasa cukup dengan perhatian, kata-kata lembut nan romantis serta belaian meskipun tidak mendapatkan kenikmatan dalam berjima’. Akan tetapi tetap saja yang satu ini diharapkan juga oleh wanita sebagaimana agama Islam memperhatikan hal ini.
Patutlah para suami memperhatikan perkataan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, beliau berkata,
”Janganlah kamu menjima’ istrimu, kecuali dia (istrimu) telah mendapatkan syahwat seperti yang engkau dapatkan, supaya engkau tidak mendahului dia menyelesaikan jima’nya (maksudnya engkau mendapatkan kenikmatan sedangkan istrimu tidak).” (Al-Mugni lbni Qudamah 8/136, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, syamilah)

Wanita juga punya nafsu syahwat seperti laki-laki
Ini perlu diketahui oleh para suami karena hakikatnya laki-laki dan wanita sama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
 “Sesungguhnya wanita itu saudara kandung laki-laki.” (HR. Ahmad no.26195, hasan lighairihi, tahqiq Syu’aib Al-Arna’uth).
Syaikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,
 Jika seorang laki-laki “mendatangi” istrinya hendaklah “berbuat baik” kepadanya. Karena wanita memiliki syahwat sebagaimana laki-laki. Wanita juga mempunyai “keinginan” sebagaimana laki-laki mempunyai “keinginan”. Jika ia mendatangi istri dengan “berbuat baik” padanya maka ini termasuk sedekah.”
Tidak sedikit juga wanita yang memiliki “keinginan” yang lebih besar bahkan tidak disangka-sangka oleh suami mereka.

ALLAH  Ta’ala berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…” (Al-Baqarah : 228)
Suami juga diperintahkan agar memperhatikan dan bermuamalah dengan baik kepada istrinya, termasuk nafkah batin. Allah Ta’ala berfirman, “Dan bergaullah dengan mereka (istri) dengan cara yang ma’ruf/ baik.” (Qs. An-Nisa’ : 19)
Bisa juga kita lihat kisah sahabat Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu yang sudah merasakan nikmatnya beribadah sampai lupa terhadap istrinya. Maka ia ditegur oleh sahabatnya Salman, agar ia juga memberikan nafkah batin kepada istrinya.
“Diriwayatkan dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya, ia mengkisahkan: Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjalinkan tali persaudaraan antara sahabat Salman (Al Farisi) dengan sahabat Abu Darda’, maka pada suatu hari sahabat Salman mengunjungi sahabat Abu Darda’.
Kemudian ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’ dalam keadaan tidak rapi,maka ia (sahabat Salman) bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi pada dirimu?”
Ummu Darda’-pun menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak butuh lagi kepada (wanita yang ada di) dunia.”
Maka tatkala Abu Darda’ datang, iapun langsung membuatkan untuknya (sahabat Salman) makanan, kemudian sahabat Salmanpun berkata, “Makanlah (wahai Abu Darda).”
Maka Abud Darda’ pun menjawab, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.”
Mendengar jawabannya sahabat Salman berkata, “Aku tidak akan makan, hingga engkau makan.”
Maka Abu Darda’pun akhirnya makan. Dan tatkala malam telah tiba, Abud Darda’ bangun (hendak shalat malam, melihat yang demikian, sahabat Salman) berkata kepadanya,“Tidurlah, maka iapun tidur kembali, kemudian ia kembali bangun, dan sahabat Salmanpun kembali berkata kepadanya: tidurlah. Dan ketika malam telah hampir berakhir, sahabat Salman berkata: bangunlah sekarang, dan shalat (tahajjud).
Kemudian Salman menyampaikan alasannya dengan berkata, “Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu, dan istri/keluargamu juga memiliki hak atasmu, maka hendaknya engkau tunaikan setiap hak kepada pemiliknya.”
Kemudian sahabat Abud Darda’ datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan ia menyampaikan kejadian tersebut kepadanya, dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan bersabda: Salman telah benar.” (HR. Bukhari no. 1968).
“MENDATANGI istri” adalah termasuk sedekah dan ibadah, tentu dalam ibadah kita harus melakukan dengan  “cara yang baik”.
Dari Abi Dzar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dan di dalam kemaluan salah seorang di antara kalian adalah sedekah.” -Maksudnya dalam jima’nya (hubungan intim) terhadap istrinya- Maka mereka (Sahabat) berkata:”Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang di antara kami mendatangi keluarganya (menunaikan syahwatnya/jima’) dan dia mendapatkan pahala?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berabda:”Bukankah apabila dia menunaikannya (jima’) di tempat yang haram dia akan mendapatkan dosa?” Maka demikian juga seandainya dia menunaikannya di tempat yang halal (istrinya) maka dia akan mendapatkan pahala,” (HR. Muslim).
Begitu juga dengan kisah seorang wanita yang mengadu kepada Amirul mukminin Umar bin Khattab bahwa suaminya malam harinya shalat malam terus dan siangnya puasa terus. Artinya ia tidak mendapat nafkah batin. maka Islam memerintahkan agar memperhatikan hal ini.
Muhammad bin Ma’an al-Ghifari berkata, “Seorang perempuan datang kepada ‘Umar lalu berkata, ‘Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya suamiku siang hari puasa dan malam hari shalat. Aku tidak senang mengadu kepadanya karena ia menjalankan ketaatannya kepada Allah.’
Lalu ‘Umar berkata kepadanya, ‘Memang laki-laki itu adalah suamimu (suami yang shalih).”
Lalu berkali-kali perempuan tadi mengulangi perkataannya dan ‘Umar pun berkali-kali pula mengulang jawabannya.
Lalu Ka’ab al-Asadi berkata kepada ‘Umar, “Wahai Amirul Mu’minin, perempuan ini mengadukan keadaan suaminya karena ia membiarkan tidur sendirian.’
Lalu ‘Umar menjawab, ‘Kalau seperti itu yang kau fahami dari ucapannya, maka putuskanlah perkara antara keduanya.”
Akhirnya Ka’ab sebagai hakim setelah mendengar peryataan dari suami-istri tersebut, memutuskan perkara dan berkata,
‘Sesungguhnya istrimu mempunyai hak atas dirimu, wahai kawan. Bagian dia ada pada yang empat (dua paha laki-laki dan dua paha perempuan), bagi orang yang berakal. Berikanlah itu kepadanya, Dan janganlah anda perpanjang alasan.’
Kemudian Ka’ab berkata, ‘Allah menghalalkan kamu menikahi empat perempuan. Tiga malamnya menjadi hakmu untuk menyembah Tuhanmu. Dan satu malam menjadi hak istrimu,” (Baghiatut Thalab 2/454, Ibnul Adim).
Beberapa cara yang diajarkan Islam
Perlu diketahui bahwa Islam tidak secara vulgar dan rinci menjelaskan bagaimana “berhubungan”  yang baik dan berkualitas. Dan termasuk kesalahan adalah menyebarluaskan dan merinci dengan serincin-rincinya. Memberitahu posisi A, posisi B, tehnik A, tehnik B, bahkan dengan gambar-gambar yang sangat berbahaya jika dilihat oleh pemuda dan anak-anak. Karena masalah ini adalah fitrah manusia dan insting manusia akan tahu sendiri. Dengan keterbukaan dan komunikasi yang jelas antar suami-istri dan gambaran dasar, maka sudah cukup. Selebihnya fitrah dan insting mereka yang jalan.
Walaupun beberapa buku petunjuk ataupun buku berlabel islami ditulis “buku ini bagi yang sudah atau akan menikah” maka tidak menjamin akan aman. Bahkan semakin dilarang, orang semakin mencari sebagaimana pepatah arab, “Setiap yang dilarang umumnya diinginkan/dicari.”BEBERAPA cara tersebut secara umum:
- Melakukan pemanasan (foreplay)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Jabir radhiallahu ‘anhu ketika dia menikah dengan janda,

”Kenapa tidak gadis (yang engkau nikahi) sehingga engkau bisa mencumbunya dan dia mencumbumu?” [HR. Bukhari dan Muslim] dan dalam riwayat Muslim:”Engkau bisa mencandainya dan dia mencandaimu?”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, ”Dianjurkan (disunahkan) agar seorang suami mencumbu istrinya sebelum melakukan jima’ supaya bangkit syahwat istrinya, dan dia mendapatkan kenikmatan seperti yang dirasakan suaminya.” [Al-Mugni lbni Qudamah 8/136, Darul Fikr, Beirut, cet. I, 1405 H, syamilah]
- Boleh dengan gaya apa saja selama masih di farji istri
 Allah Ta’ala berfirman, “Para istri kalian adalah ladang bagi kalian. Karena itu, datangilah ladang kalian, dengan cara yang kalian sukai.” [Al-Baqarah:223]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Silahkan menggaulinya dari arah depan atau dari belakang asalkan pada kemaluannya,” [HR. Bukhari (no. 4528) dan Muslim (no. 1435)].
- Jika ingin ‘Azl (coitus interuptus) hendaknya minta izin ke istri
Karena memutus tiba-tiba bisa mengurangi kenikmatan istri. Syaikh Muhammad Mukhtar As-Syingkiti rahimahullah berkata, 
“Dibenci mencabut (‘azl) sebelum wanita menyelesaikan “hajatnya”. Karena terkadang laki-laki mencapai kepuasan sebelum istri mencapai kepuasan. Terkadang ia sudah mendapati kenikmatan sedangkan istri belum mendapatkan.” [Syarh Zadul Mustaqni’ bab ‘Usyratun Nisa’]
Inti dari permasalahan ini adalah adanya komunikasi yang terbuka dan jelas antar suami dan istri, apa saja yang membuat suami puas, apa saja yang membuat istri puas, baik dari tehnik, gaya, trik dan perbaikan stamina keduanya. Dan perlu diketahui tidak semua rumah tangga bahagia hanya dengan permasalahan ini saja. Tetapi hal ini juga tidak juga diremehkan dan tidak diperhatikan.
Jangan sampai istri kecewa dan tidak suka terhadap suaminya
Terdapat beberapa kasus bahwa rumah tangga harus berakhir hanya karena masalah ranjang. Begitu juga ada wanita di zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ingin cerai dari suaminya karena suaminya impoten. Hal ini perlu diperhatikan dan dimusyawarahkan dengan baik jika memang akan menjadi masalah.
Seorang suami harus memperhatikan hal ini. Syaikh Muhammad Mukhtar As-Syingkiti rahimahullah berkata,
“Para ulama telah memperingatkan masalah ini karena ada mafsadah dan akibat yang buruk. Yaitu seorang istri membenci suaminya ketika itu. Istri merasa suaminya hanya sekedar ingin menunaikan syahwatnya saja, tidak perhatian dan tidak ingin berbuat baik kepadanya dan tidak menghormatinya dalam bermuamalah. Bisa jadi ia akan memusuhi suaminya. Dan setan masuk kemudian merusaknya. Maka syariat dibangun diatas tujuan umum untuk menciptakan kerukunan dan persatuan hati. Maka hendaklah ia memberikan hak kepada Istrinya.” [Syarh Zadul Mustaqni’ bab ‘Usyratun Nisa’]
Ada juga suami yang hanya berbuat baik kepada istirnya ketika ingin “meminta jatah” saja, kata-kata baik, ada rayuan dan belaian. Adapun jika selain itu, maka kata-katanya kasar, membentak dan anti belaian. Sehingga istri akan merasa benci terhadap suaminya.
Hal ini juga telah diingatkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk (memukul)  istrinya sebagaimana mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia menjimaknya di akhir (malam) hari,” [HR Al-Bukhari V/1997 no 4908 dan Muslim IV/2191 no 2855].
Semoga kita para lelaki bisa menjadi  suami yang perhatian terhadap istri dan berbuat baik terhadap mereka karena “wanita ingin lebih dimengerti”.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap Istrinya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan istriku,” [HR Tirmidzi].

.sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar