SELAMA
ini kita hanya tahu bahwa dalam Islam, seorang istri tidak boleh
menolak ajakan suaminya melakukan jima, sebagaimana hadist berikut: “Bila
seorang suami memanggil istrinya ke ranjang lalu tidak dituruti, hingga
sang suami tidur dalam keadaan marah kepadanya niscaya para malaikat
melaknati dirinya sampai Shubuh,” (Muttafaq ‘Alaih dari hadits abu
Hurairah).
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya,
tidak seorang suamipun yangmengajak istrinya ke ranjang lalu sang istri
enggan memenuhi panggilannya melainkan yang di atas langit (Allah
Ta’ala) marah kepadanya sampai suaminya ridha kepadanya,” (HR.Muslim).
Namun
bagaimana jika istri yang meminta? Nah, apakah suami boleh menolak?
Ulama berpendapat yang berlandaskan pada hadist shahih dan ayat Al-
Qur’an bahwa wajib hukumnya seorang suami memuaskan istri dengan
hubungan seksualnya.
Ibnu Qudamah: “Jima itu wajib bagi suami jika
tidak ada udzur.” Maksud dari Ibnu Qudamah tersebut adalah bahwasanya
wajib bagi suami untuk memuaskan istrinya karena ini hak istri atas
suami. Sebagaimana diketahui bahwa wanita teramat tersiksa bilamana hak
ini (hubungan seks) tidak terpenuhi karena pada umumnya fitrah wanita
sangat besar nafsunya, sebagaimana penjelasan Imam Qurtuby bahwa
perbandingan syahwat wanita adalah sembilan banding satu.
Wajib
disini adalah bila perkara ini tiada ditunaikan maka akan mendatangkan
dosa atas pelanggaran syara’ dalam hak dan kewajiban dalam pernikahan.
Dan hendaknya seorang istri menuntut haknya dan suami menuruti tuntutan
istrinya atas haknya dan menjalankan kewajibanya selaku suami.
Jadi
kesimpulanya adalah seorang suami dibebankan kewajiban untuk
menyenggamai istrinya yang dimana bila ia tidak menggauli istrinya maka
ia juga dikenai dosa atas kelalaian kewajibanya dan kedzolimanya. Dan
tidak istri saja yang terkena ancaman dosa bila tidak bersedia
berhubungan seks. Keduanya suami dan istri saling berkewajiban untuk
melakukan hubungan seks. Karena dalam masalah pernikahan keduanya
memiliki satu hak antara satu dengan lainya dan satu kewajiban antara
satu dengan lainya. Allah swt berfirman : “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”(QS.2:228)
Pendapat
wajibnya seorang suami menyenggamai istri ini juga dikemukakan oleh
Imam Malik, alasan Imam Malik adalah bahwasanya nikah adalah demi
kemaslahatan suami istri dan menolak bencana dari mereka.Ia (suami)
melakukan hubungan untuk menolak gejolak syahwat istri, sebagaimana juga
untuk menolak gejolak syahwat suami.
Ibnu Hazm ad dzahiri
[4]berpendapat bahwa menyenggamai istri itu hukumnya wajib, minimal
sekali setelah sang istri suci jika ia mampu. Dan apabila tidak maka
sang suami telah durhaka pada Allah. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala
“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu “(QS.Al Baqarah.222)
Berdasarkan
ayat ini Ibnu Hazm berpendapat bahwa jikalau istri selesai dari haid
dan telah bersuci sang suami wajib mencampuri istrinya, apabila tidak
maka ia dianggap berdosa pada Allah karena bertentangan dengan ayat
tersebut. Allahu’alam
Imam Ghazali berpendapat, sebaiknya
seorang suami menyenggamai istrinya empat hari sekali. Ini semua
merupakan suatu langkah dalam menenangkan istri karena ini merupakan
suatu kewajiban.
HADIST
diriwayatkan dari Asy-Sya’bi, Ka’ab bin Siwar Al Asadi pernah duduk
disamping Umar bin Khatab dan datanglah seorang wanita yang mengadu
padanya: “Hai Amirul Mukminin, aku sama sekali tidak pernah melihat
seorang lelaki yang lebih utama dari suamiku. Demi Allah ia selalu
shalat semalam suntuk dan berpuasa disiang harinya, kemudian ia
memohonkan ampunan kepada istrinya dan memujinya.”
Umar berkata: “Ya, itu suamimu.”
Wanita ini berkali-kali menyampaikan aduan ini dan berkali-kali pula Umar menjawab.
Kemudian
Ka’ab berkata kepada Umar, “Wahai Amirul Mukminin, wanita ini mengadu
atas suaminya yang menjauhi tempat tidur istrinya.”
Umar menjawab: “Sebagaimana yang kauketahui putuskanlah kedua masalah sumi istri ini.”
Ka’ab
berkata : “Sungguh aku berpendapat bahwa wanita ini yang keempat
setelah wanita yang ketiga. Maka aku putuskan tiga hari siang dan malam
untuk ibadah suamimu dan satu hari satu malam untuk berkumpul dengan
istri.”
Kemudian ia berpesan pada suami “Sesungguhnya pada istrimu
ada hak. Hai suami engkau mendatangi istrimu empat hari sekali bagi
yang sedang. Berikanlah hak itu dan hilangkanlah keburukanmu.”
Kemudian
Umar berkata pada Ka’ab : “Demi Allah pendapat (keputusanmu) yang
pertama kali ini menakjubkanku dari pendapat-pendapat orang lain, maka
aku perintahkan kau untuk pergi menjadi hakim di Bashrah.
Jadi
berdasarkan riwayat ini bahwa bila ada seorang suami tidak bersedia
menggauli istrinya ini merupakan tindak kejahatan yang bisa diadukan
kepada hakim/penguasa untuk diputuskan perkaranya. Jika ini bukan tindak
kejahatan Umar dan Ka’ab tidak akan memutuskan suatu perkara ini,dan
Umar juga tidak akan mengangkat Ka’ab menjadi hakim di Bashrah.
Tidak
menggauli istri adalah pelanggaran atas hak istri dan bentuk kedzaliman
yang terkategori kriminal. Entah apapun alasan sang suami, hatta ia
beralasan dalam rangka ibadah pada Allah tetap saja itu suatu
kedzaliman bila ia enggan menggauli istrinya. Dan karena ini suatu
tindak kriminal (kedzaliman) dan perenggutan hak maka sang istri berhak
mengadukanya pada pengadilan.
Sebagaimana ia dianiyaya fisik
(dipukuli) oleh suami. Ini semua karena memukuli istri tanpa hak dan
tidak memnuhi hak istri untuk digauli sama-sama kedzaliman dan
kriminalitas.
Ibnu Taymiyyah menyatakan: “Seorang suami
harus memberikan nafkah batin kepada isterinya secara makruf. Sebab, ia
termasuk kebutuhannya yang paling utama; melebihi kebutuhannya terhadap
makan. Nafkah batin yang wajib dipenuhi oleh suami menurut sebagian
ulama paling lama empat bulan sekali. Sementara pandangan lain sesuai
dengan kebutuhan isteri dan kemampuan suami untuk memenuhinya.”
Imam
Ahmad berpendapat : “Hubungan badan dengan istri wajib, sekalipun
demikian, kewajiban suami adalah menjaga hak istri (yaitu digauli).
Hendaknya suami bersikap sedang dalam berpuasa dan shalat malam agar
mampu melaksanakan hubungan wajib dengan istri. ISLAMPOS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar