By Saefullah on September 5, 2013
BUNG, bagaimana amatanmu dari alam sana atas perhelatan kontes kecantikan sejagat di negeri yang kau turut merdekakan ini? Bagaimana suara hatimu dari negeri abadi sana tentang ajang pamer rupa dengan dalih pariwisata dan kemajuan bangsa yang kau bebaskan dari penjajah?
Bung, hari ini aku miris mengingat keturunan mereka-mereka yang kau bela saat melobi Bapak-bapak perumus Piagam Jakarta. Dulu, kau datangi K.H. Wahid Hasyim, Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkie, juga Abikoesno Tjokrosoejoso agar kegigihan umat mayoritas negeri ini menjadikan Islam sebagai dasar negeri dibatalkan. Semua demi kebaikan bersama, agar Republik yang baru berdiri tidak berpecah, katamu. Karena, saudara kita di timur Indonesia sana, syahdan, keberatan dan bakal bisa memerdekakan diri. Atas kebesaran jiwa nama-nama tadi, tujuh kata nan sakral itu pun pupus dari sehelai kertas yang kita bak memori pahit bagi umat mayoritas.
Hari ini apa yang sudah diberikan dengan kebesaran jiwa itu telanjur dibalas dengan segelas tuba dengan bibir berbusa-busa para pemiliknya. Sayang, yang melakukannya tidak sadar. Saudara-saudara dari tanah yang Bung bela di tahun 1945, hari ini begitu susah mendengar suara saudaranya di seberang pulau. Dulu kami menganggap mereka saudara dan biarlah lobi Bung untuk ber-Pancasila diterima. Hari ini, untuk menghormati keberatan hati kami saja, mereka begitu susah.
Aku tidak tahu apakah para budayawan, agamawan hingga politisi yang keberatan bila agama (mayoritas) dibawa-bawa ke soal kontes kecantikan sadar soal Pancasila? Biasanya, kalau Bung ikuti berita koran dari alam sana, mereka selalu mengatasnamakan Pancasila. Seolah Pancasila mereka hayati dibandingkan saudaranya yang beratas nama agama mayoritas. Mereka seperti lebih mengerti dasar negeri ini, tapi sayang, lupa untuk membalas bagaimana Bung sudah bersusah payah yakinkan pemuka agama kami dulu soal dasar negara.
Hari ini saudara-saudara kami itu bergeming dengan aspirasi teladan kami. Dulu mereka teriak ingin merdeka, tetapi kami hari ini tidak tebersit untuk mengeluarkan mereka dari Republik ini gara-gara perkara ini. Kami hanya mereka bertoleransi ; tidak hanya menuntut kepada kami untuk berlaku sama kepada mereka.
Mereka seperti berada di atas angin bila menyangkut tanah perdikannya. Tidak mau mendengar suara saudaranya. Semua demi dalih budaya dan pariwisata. Padahal, kami menolak ajang pamer kecantikan bukan melulu karena agama. Ini pelecehan adat ketimuran, yang mereka juga masuk di dalamnya. Bukankah ini bagian soal akal pikiran yang kau repot tulis dalam Pengantar Kejalan Ilmu Pengetahuan? Sudah negeri ini banyak dipecundangi para maling uang rakyat, apakah harus dibodohkan dengan pamer tebar senyum wanita asing tapi atas nama demi kemajuan Indonesia. Itu komoditas feodal, bukan, Bung? Itu juga yang kau taksuka, bukan, Bung?
Entah mengapa, saudara kami selalu merasa tanahnya harus dan pasti steril dari intervensi mayoritas di seberang pulau. Padahal, kami tidak berniat sedikit pun mengubah tempat berdoa mereka menjadi seperti tempat berdoa kami. Soal keyakinan, tidak boleh ada paksaan. Berbeda halnya ketika ada penjajahan moral bangsa, yang kau pun harus repot tuangkan di banyak tulisan, salah satunya dalam Kumpulan Karangan dan Pengertian Pancasila.
Kau pernah cemburu ketika nama ‘Indonesia’ direbut paksa oleh anasir komunis sebagai temuan mereka. Tentu kau (harus) lebih cemburu lagi ketika tanah kelahiranmu dan tempat berjuangmu disebut negeri toleransi; toleransi pada apa pun, termasuk menjual wajah dalam komoditas kapital.
Wahai, Bung Hatta, kau yang mengenyam dari muda hingga senja sebagai sosok sosialis nan religius, bisakah kau menangis di alam baka sana ajaran penghargaan martabat wanita Indonesia diturunkan seperti sekarang di pulau nan elok itu? Bahkan, aku tidak yakin, teman akrabmu, Bung Karno, berbesar hati ketika kapitalisasi merasuk dahsyat atas nama pemberdayaan wanita, yang itu terjadi di tempat kelahiran ibundanya!
Bung, ini memang perih. Kalau saja kau dulu tidak berepot ria jadi utusan pembisik dan pelobi soal dasar negara, boleh jadi kontes murahan dibalut kemewahan ini tidak bakal terjadi. Kalau kau dulu berdiam soal aspirasi orang timur negeri ini, boleh jadi kecurangan mencoreng Republik dengan baju ‘buat memajukan pariwisata’ tidak pernah ada. Sayang, kau memilih untuk meringankan kaki sebagai juru bicara mereka.
Sayangnya, esensi pembelaanmu, Bung, tidak tertangkap hari ini. Jauh dari bara sebenarnya bernegara. Begitu mudah fanatik dengan adat, dan—sayangnya—amat toleran untuk hal-hal yang sepatutnya bertenggang rasa dengan saudara mayoritasnya. Soal ada estetika dalam sensualitas di balik tabir praktik agama mereka, itu kami tidak ambil pusing. Itu keyakinan mereka yang kami tidak perlu berepot mengoreksinya. Soal ini ada peradilan yang lebih tepat. Yang kami inginkan sederhana: mereka peka dengan aspirasi saudaranya selagi itu bukan bagian dari praktik agamanya. Adakah kontes kecantikan yang sarat komersialisasi itu tercantum dalam kitab suci?
Bung, sungguh kami memaafkanmu, seluas kami memaafkan kebodohan kami yang mungkin sebatas pecundang dan hanya bisa menjadi pengembik di tengah banyaknya kami. Bung, kami tidak pernah tahu isi hatimu saat ‘berjuang’ soal dasar negara, yang kami yakini sebatas fasihnya lidahmu: demi persautan Republik. Kami terima ini, Bung. Yang kami tidak mengerti, mengapa kami selalu dianggap subversif dan intoleran ketika soal yang juga kaupedulikan, semisal kontes kecantikan ini.
Bung, kami hanya sedih: dulu kami sudah bertenggang, kini kami diabaikan isi hatinya oleh anak keturunan yang kaubela dulu. Kami tidak anggap mereka musuh atau lawan; kami hanya meminta Indonesia tidak dieksploitasi kapitalisme dan pembodohan. Sungguh, kami ingin agar mereka peka soal ini; sepeka ketika mereka ingin syariat kami ditepikan demi kerukunan.islampos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar