Tanggal 21 April selalu menjadi momentum para feminis untuk
mengangkat nama Kartini. Di sebagian daerah, para pelajar dan mahasiswa
pun menyemarakkan ekspresi Hari Kartini dengan caranya masing-masing.
Namun terlepas dari hal itu, nama Kartini memang cukup menyita
perhatian. Di satu sisi, Kartini memang sangat theosofis, namun pada
sisi lain Kartini pun dekat dengan Islam, karena di akhir hidupnya, ia
sempat berguru ke Kiai Soleh Darat di Semarang. Lalu bagaimana kita
harus meletakkan proporsi Kartini? Tiar Anwar Bachtiar, Kandidat Doktor
Sejarah UI, memiliki perspektif yang coba menelisik itu.
“Jadi
Kartini harus diletakkan sebagai orang awam. Sebagai orang awam, dia
akan ketemu apa saja, siapa saja dan dimana saja. Jadi itu posisi
Kartini. Jadi jika sempat suatu data menyatakan Kartini ketemu
orang-orang teosofi memang sangat wajar. Karena bupati saat itu memang
dekat dengan tokoh-tokoh theosofi Belanda. Apalagi dia kan pelajar di
Sekolah Belanda dan gurunya juga pasti kan ada yang terlibat Theosofi.
Jadi jika ia terpengaruh theosofi itu mungkin. Tapi tidak hanya
terpengaruh theosofi, dia juga terpengaruh liberalism dan feminis
ekstrimis-nya Stella Zeehandelaar.” Ujarnya kepada Eramuslim.com,
sewaktu ditemui di kampus UI, Depok.
Kartini sendiri berkorespondensi dengan Stella, seorang feminis
ekstrimis, sejak 25 Mei 1899. Dengan perantara iklan yang di tempatkan
dalam sebuah majalah di Belanda, Kartini berkenalan dengan Stella.
Kemudian melalui surat menyurat, Stella memperkenalkan Kartini dengan
berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.
Namun kapasitas itu menurut, Tiar Anwar Bachtiar, karena Kartini masih
dalam masa pencarian.
Menyambung daripada itu, peneliti INSISTS ini juga menyatakan bahwa
Kartini sempat berinteraksi dengan Islam adalah fakta sejarah. Dalam
masa akhir-akhir hidupnya, Kartini berguru ke Semarang. Hal itu besar
didasarkan karena Kartini terkenal sebagai gadis yang gemar mengaji.
“Tapi memang dalam akhir hidupnya itu dia sempat mengaji ke Kiai
Soleh Darat di Semarang karena memang dia senang mengaji. Karena ayahnya
Bupati Rembang termasuk santri yang agak senang mengaji. Sebagai istri
keempat kan Kartini pasti tidak banyak acara. Jadi Kartini itu sebagai
pencari statusnya. Maklum sebagai anak muda dia mencari pengetahuan
berbagai macam dan jatidiri, termasuk di masa akhir hidupnya Kartini
bertemu Islam. Makanya Pak Mansyur (Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara,
red) mengatakan, Kartini terpengaruh Qur’an.” Sambung Tiar Anwar
menambahkan.
Dalam keterangan lebih lanjut, Tiar Anwar Bachtiar juga melihat bahwa
feminisme dalam pemikiran Kartini adalah taktik Belanda untuk
membumikan ajaran feminisme dan liberalisme di Indonesia.
“Anehnya kan yang dimunculkan sekarang bukan Kartini pada masa akhir
hidupnya. Kartini dikesankan feminis. Makanya mungkin Kartini juga gak
engeh dia ditokohkan. Ini kan terjadi setelah Abendanon (Mr. J.H
Abendanon, red.) menerbitkan surat-surat Kartini dengan Stella setelah
Kartini meninggal. Jadi Kartini itu dikonstruk oleh Abendanon dan
semuanya itu menjadi konsumsi publik dan cenderung liar.” Lanjutnya
meyakinkan
Perihal alasan yang membuat Abendanon “membonceng” nama Kartini, Tiar
Anwar Bachtiar menyatakan bahwa misi Abendanon tidak lain untuk
mempopulerkan gagasan feminisme di Barat ke Indonesia.
“Padahal di Indonesia tidak ada masalah feminisme dari dulu.
Perempuan dan laki-laki punya hak sama. Makanya dulu di Jawa kalau
lelakinya mencangkul di sawah, perempuannya yang menanam benih. Makanya
dari dulu tidak ada patriarki. Patriarki itu masalah Barat, bukan
masalah kita, karena masyarakat Barat memang sangat patriarkis. Makanya
ketika feminisme itu datang ke Indonesia, susah mendapat konteksnya.
Jadi Kartini itu konstruk yang dibuat masyarakat Barat untuk
memperkenalkan feminisme di Indonesia. Padahal kita kan tidak butuh
itu.” tutupnya
J.H. Abendanon adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia
Belanda dari tahun 1900-1905. Ia datang ke Hindia-Belanda pada tahun
1900 dan ditugaskan untuk membumikan ajaran-ajaran Barat di Nusantara,
termasuk feminisme.eramusli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar